Potret Pendidikan dalam "3 Idiots"

Mungkin hampir sebagian besar dari kita tahu tentang film ini. Film yang dibintangi antara lain oleh Amir Khan dan Kareena Kapoor ini cocok dinikmati oleh orangtua, siswa, dan guru karena membahas tentang sistem pendidikan di India yang mungkin juga menggambarkan sebagian besar sistem pendidikan di Indonesia.

Film ini dimulai dengan proses penerimaan mahasiswa di sebuah Universitas teknik bernama ICE. Sebanyak 200 siswa diterima dari 4000 calon mahasiswa yang mendaftar. Universitas itu memang sebuah universitas teknik terbaik di India yang membuat semua orangtua berharap anaknya bisa menjadi salah satu mahasiswa di sana tanpa memandang apakah anak-anak mereka cocok menuntut ilmu di tempat itu. Sebuah Universitas yang dikepalai oleh seorang rektor yang sangat efektif, efisien, dan kompetitif menghadapi seorang mahasiswa dari “3 idiots” yang sangat cerdas dan mencintai ilmu mekanik mungkin adalah sajian menarik bagi kita yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.

Satu hal yang saya bahas di atas adalah tentang orangtua yang selalu bangga jika anaknya bisa bersekolah di Universitas terbaik di negaranya yang mungkin bukan Universitas yang memberikan terbaik untuk bakat anak mereka. Banyak dari orangtua yang hanya mengira bahwa anak pandai akan dapat memiliki pekerjaan yang baik. Itu benar. Namun, mereka tidak menyadari bahwa setiap anak memiliki kepandaiannya masing-masing. Mereka lupa bahwa dunia ini tidak hanya diisi oleh orang-orang yang gemilang dalam dunia teknik saja, tetapi juga mereka yang berbakat dalam dunia fotografi, peneliti, tulis-menulis, dan lainnya. Betapa banyak orangtua yang hanya mengetahui bahwa jalan sukses adalah dengan menguasai ilmu logika saja dan betapa banyak anak-anak mereka yang mengalami depresi hidup di dalamnya hingga berakhir ke dunia gelap, bahkan kematian.

Tentang sistem pendidikan yang menekankan pada peringkat, saya juga memiliki pemikiran yang serupa. Saya tidak tahu fungsi dari pemberian peringkat pada para siswa berdasarkan nilai yang mereka peroleh. Jika untuk memberikan penghargaan, di saat yang sama peringkat tersebut juga membuat beberapa orang anak yang mendapatkan nilai kurang bagus merasa kurang percaya diri. Jika untuk memberikan motivasi pada siswa yang memiliki nilai kurang bagus untuk berada di peringkat tinggi juga, saya tidak tahu bagaimana caranya. Karena secara logika, ada sekitar 30 anak dalam satu kelas yang akan diposisikan dalam 30 peringkat yang dilakukan 2 kali dalam setahun. Mustahil jika kemudian ketiga puluh anak itu diharapkan bisa meraih peringkat 1, 2, atau 3 bergantian.
Selain itu, tentang sistem pengajaran yang menekankan pada siswa bahwa definisi harus sesuai dengan definisi dalam buku, menurut saya hal itu malah membuat siswa berpikir bahwa pendidikan adalah tentang menghafalkan, bukan memahami; dan kebiasaan mencontek. Hal ini malah dapat mengakibatkan seorang anak dengan nilai tinggi, yang hanya didapat dari kekuatan menghafalnya bukan tingkat pemahamannya, kesulitan untuk berinovasi. Sehingga yang ia pahami hanyalah sekedar teori, tanpa bisa dimanfaatkan untuk kemajuan peradaban.

Tentang pengajar, saya tidak bisa membahasnya banyak karena hal itu berkaitan dengan karakter pribadi pengajar. Namun, yang paling berbahaya dari seorang pengajar adalah ketika dia merasa bisa mempermainkan nilai siswa dengan leluasa. Jika siswa itu diam saja, dia akan diberi nilai bagus, tetapi jika anak itu berhasil membuat pertanyaan yang membuat guru itu kesulitan menjawabnya, maka anak tersebut dianggap nakal dan tentu mendapatkan nilai buruk. Terkadang hal ini sangat menyulitkan bagi siswa karena mereka harus merasa selalu tahu ketika menghadapi guru demikian dan baru bisa mengajukan pertanyaan ketika guru lain yang mengajar. Untuk lebih mudahnya, kadang siswa jadi malas untuk bertanya.


Ada suatu sistem yang mungkin luput dari perhatian. Namun, ada juga sistem salah yang masih tetap diberlakukan seolah itu adalah sistem yang benar walaupun memberikan kerugian besar bagi siswa, contohnya sistem peringkat tadi. Tidak perlu ada kompetisi dalam pendidikan di jenjang mana pun karena mungkin nantinya mereka juga tidak akan menggunakan ilmu yang diberikan. Tidak perlu juga memaksakan anak untuk masuk ke perguruan tinggi yang tidak mengajarkan hal yang diminati anak tersebut. Yang bersekolah adalah anak, sehingga anaklah yang seharusnya memilih tempatnya belajar. Tugas orangtua hanyalah mencarikan sekolah dengan guru yang sesuai dengan kemampuan anaknya.

Posting Komentar

0 Komentar