Tentang Commuter Line



Suatu hari saya berada di dalam sebuah kereta Commuter Line. Berangkat pagi dan berharap mendapatkan tempat duduk walaupun hanya untuk 15 menit. Yah, siapapun tahu bahwa kereta antarstasiun di Jabodetabek itu selalu penuh penumpang, apalagi pada jam berangkat dan pulang kerja.

Ada yang menarik dengan peraturan duduk di dalam kereta. Kereta dengan panjang 8 hingga 12 gerbong itu memiliki 2 gerbong khusus untuk perempuan yang dipasang di kereta paling depan dan belakang. Dalam dua gerbong ini, jangan harap ada yang akan menawarkan Anda duduk. Tidak akan ada yang akan menawari Anda duduk kecuali bila orang itu akan turun di stasiun berikutnya atau Anda adalah orang tua, orang cacat, wanita hamil atau wanita yang membawa anak. Begitulah peraturannya. Kenapa? Karena semua orang di dalamnya adalah perempuan. Bahkan ada yang tidak menawarkan tempat duduk walaupun di depannya ada wanita tua.

Mengenai tatanan tempat berdiri dan tempat duduk, gerbong khusus untuk perempuan terkenal sangat rapi. Begitu rapi sampai semua orang di dalamnya terlihat seperti lipatan-lipatan baju yang dijejalkan dalam almari yang sudah sesak. Sedikit celah bisa digunakan untuk meletakkan baju yang baru disetrika hingga tidak ada ruang kosong untuk bernapas. Tentu gerbong itu akan menjadi gerbong kematian pascakolonial bagi para penderita asma. Saat itu, sampai pernah ada yang pingsan.

Hal ini berbeda jika kita masuk ke gerbong dengan penumpang campur. Dengan tatanan yang tidak beraturan, hal itu memungkinkan penumpang untuk bernapas dengan sedikit lega. Kenapa? Karena kereta tidak pernah terlalu penuh sesak. Hal itu seperti pakaian yang dimasukkan ke dalam lemari namun tidak dilipat. Hasilnya, masih akan ada banyak ruang kosong yang tersedia untuk bernapas walaupun lemari sudah tidak mungkin dimasuki lagi.

Mengenai peraturan duduk di gerbong ini, selama masih ada perempuan yang berdiri, pantang bagi laki-laki untuk duduk. Mereka akan dengan sigap memberikan tempat duduknya pada perempuan di depannya atau mempersilahkan perempuan di sebelahnya untuk duduk di bangku kosong di depannya. Well, sebenarnya tidak semua. Masih ada beberapa orang yang tidak melakukan hal itu. Ada yang pulas dengan tidurnya dan tidak mempedulikan ada orang tua di depannya dan ada pula yang sibuk bermain ponsel walaupun di depannya ada perempuan yang kelelahan setelah pulang kerja. Intinya sama saja.

Sesadis itukah para pengguna Commuter Line? Tidak juga. Kita tidak tahu pengalaman apa yang mengajari mereka untuk berbuat demikian. Kita juga tidak tahu apa yang sebenarnya mereka alami. Bisa saja orang-orang yang duduk itu adalah mereka yang baru kehilangan pekerjaan, dicerai, kecopetan, atau baru pulang setelah dua hari lembur. Dengan keadaan itu, mereka mungkin juga sedang berperang dengan keegoisan mereka sendiri. Salah satu dari mereka mungkin ingin memberikan tempat duduk untuk perempuan tua yang sedang bersandar di sudut bangku, tapi kesedihan dan rasa letih begitu merajai hingga menempatkannya dalam dilema yang sulit di mana dilema itu membuatnya semakin pening hingga tidak tahu harus apa selain tetap diam dalam posisi itu.

Bisa jadi orang-orang yang berdiri adalah mereka yang tidak terbebani apapun. Mereka telah menyelesaikan tugas-tugas mereka dengan baik di kantor dan membuat atasan mereka kagum. Sehingga mereka tidak perlu memikirkan apapun selama dalam perjalanan selain beristirahat. Yah, mungkin mereka hanya perlu meletakkan tangan mereka pada tali yang tergantung di kereta lalu membuka ponsel dan menikmati saluran kesukaan mereka, tanpa perlu memikirkan penderitaan orang lain karena yah, mereka sudah berada di posisi yang dianggap orang lain sebagai "menderita".

Posting Komentar

0 Komentar