Delik Frustrasi




Malam ini aku hendak menjerit, jika saja tak kuingat bahwa aku sedang berada di dalam kamarku yang sempit di mana lingkungan kami adalah kampung dengan rumah-rumah yang saling berhimpit. Bagaimana tidak, di usia yang semakin matang, aku masih saja jauh dari tujuan—sebut saja impianku. Sudah lewat kiranya 2 minggu aku menganggur. Memutuskan untuk fokus pada pencapaianku. Tapi ternyata, dengan waktuku yang luang, isi kepalaku ikut kopong. Ada saja jenis rasa malas yang mampir. Awalnya sekadar “say hello”, kemudian menjalar hingga mengakar ke seluruh tubuh. Mengikat raga pada ranjang.

Ini tidak baik.

Aku mengenal banyak lelaki yang lebih muda dariku. Mereka memiliki impian yang sama denganku, namun untungnya, mereka telah masuk ke dalam dunia itu. Sedang aku masih menerka-nerka bagaimana rasanya berada di dalam sana. Adakah manusia diciptakan untuk saling menyimpan iri kepada yang lain? Sementara untuk memperbaiki diri sendiri rasanya sungguh berat?

Melihat karya yang berserakan, namun tak menemukan jodoh, rasanya seperti gagal mengasuh anak. Saya tak tahu bagaimana cara mencarikannya jodoh. Bagaimana cara mencomblangkan pada jodoh yang tepat. Saya tak pandai untuk itu. Dan membiarkan mereka berantakan di rumah—terus termakan waktu hingga usang—rasanya juga bukan hal yang bagus. Seperti tak becus. Ini membuat saya sangat menderita.

Beberapa kali aku mencoba menghibur diri: ini belum waktunya. Tapi selalu saja akal sehat berontak dan bertanya, “Lantas kapan waktunya?” Jika sudah seperti itu, maka semalaman aku akan bersiap-siap dihantui oleh bayang kegagalan. Di usia ini, sebagian besar teman sejawat sudah memiliki jaminan untuk meneruskan hidupnya. Aku merasa masih meraba-raba tentang kehidupan yang kuinginkan itu sendiri. Semua terlihat abstrak dan penuh kemungkinan, tapi tak ada jawaban yang jelas. Adakah manusia itu terhanyut dalam warna dunia, lantas bersenyawa di dalamnya tanpa memikirkan hendak bagaimana atau hendak menjadi apa?

Hey, ini bukan game!

Ketakutan yang utama bukanlah tentang impian itu sendiri, tapi tentang bagaimana kelak menjalani kehidupan dengan terus mendekap impian itu sebagai bagian dari hidup kita. Adakah keberanian untuk melangkah ke sana? Seberapakah keyakinan itu? Sementara beberapa sahabat memilih untuk menanggalkan jubah mimpi mereka dan beranjak bangun dari tempat tidurnya, lalu menjalani hidup seperti orang sewajarnya: rutinitas harian dengan dasi yang terikat di leher. Melihat bahwa dulu kami memiliki impian yang sama, namun ternyata membanting setir menjadikan hidupnya lebih terjamin, itu cukup memeningkan kepala. Apakah manusia tak pantas percaya pada impiannya?

Kulihat ada sekeping puzzle di mejaku. Aku tak tahu itu kepingan apa, tapi kurasa cocok dengan kepingan yang hilang dari gambaran mimpi-mimpiku. Kekasihku baru saja mengandai-andai “jika kami tinggal berdekatan, mungkin kami bisa menghabiskan waktu lebih lama”, begitu perandaiannya. Pikiranku langsung melayang jauh, tapi aku belum bisa memastikan ini tentang apa, jadi aku masih melontarkan ungkapan-ungkapan yang kiranya memancing maksudnya. Kupikir, jika hidup kami berdekatan, kami tak akan saling kenal, karena dia mengenalku saat aku mulai membuka diri padanya, dan jika dia langsung berhadapan denganku, maka dia tak akan pernah mengenal diriku yang disukainya.

Kuambil kepingan itu, lalu kupasang di langit-langit impianku. Satu keping saja rupanya tak bisa menjelaskan gambar apa itu. Aku tersenyum sendiri. Ini tentunya bukan senyum mengasihani diri sendiri. Besok masih banyak cerita yang harus kutulis, cerita yang sedari bertahun-tahun lalu bergentayangan di kepalaku dan tak kunjung selesai menjadi sebuah tulisan. Tentang karya-karyaku yang tak kunjung menemukan jodoh itu, entah kenapa selalu saja aku merasa kurang. Ada rasa yang mengatakan bahwa gaya bahasa yang kutulis ini masih belum mumpuni atau belum cocok untuk kujodohkan pada pihak tertentu. Aku yakin isinya bagus, tapi tidak dengan gaya berceritanya—bahasanya. Ini bukan sesuatu yang bisa dilihat oleh mata. Perlu mendalaminya lebih dulu, memekakan perasaan agar bisa melihat layak atau tidaknya. Mereka masih prematur, tapi tidak jelek. Aku tahu itu.

Dan bagaimanapun juga, menyimpannya saja di laci bukanlah ide yang cemerlang. Itu sama saja membunuh mereka. Sedangkan aku selalu bermimpi untuk dapat menyebarkan mereka, hingga suatu hari dunia ini menjalani kehidupan seperti dogma-dogma yang kutulis. Saat itu dunia akan menjadi ideal dan tanpa pelanggaran—karena pelanggaran pun dilakukan dengan cara yang unik yang bisa dimaklumi.

Akankah aku membiarkan mejaku kosong tanpa karya?

Aku sempat malu kepada kekasihku, saat aku berkata padanya bahwa aku hendak berhenti menulis. Itu benar-benar pengecut. Aku benar-benar tak tahu lagi bagaimana untuk bergerak, di mana di luar sana sangat banyak dikuasai oleh kepalsuan. Di mana karya tak dinilai dari kualitas, tapi hanya sebatas nama.

Malam ini aku melihat patung seorang demi yang menjulang tinggi ke angkasa. “Dia menangis!” katanya. Aku diam saja dan memerhatikan. Seorang gadis memberinya tisu. Lantas begitu saja pergi meninggalkan seorang pemuda yang menangisi tangisan Sang Dewi. Seandainya nyata, mungkin dia memesona.

Kuletakkan penaku sembari berencana untuk menjejak satu anak tangga lebih tinggi. (*)

Posting Komentar

0 Komentar