Maya


Sore hari. Aku baru pulang dari bekerja, lalu segera saja menuju kamar dan kudapati seorang gadis tidur di kasurku dengan keadaan telanjang bulat! Dan aku adalah seorang pria.

Gadis itu tidur membelakangiku. Aku bisa melihat punggungnya dengan jelas. Rambut panjangnya yang ikal mayang terurai ke atas tanpa menutupi tengkunya hingga membuat lehernya terlihat jenjang indah. Kulit gadis itu tampak bersih. Kuning langsat. Aku bersyukur, tumpukan baju kotorku sedikit menutupi pandanganku dari bagian pantatnya—setidaknya tertutup sedikit, karena aku bisa lihat sebagian gundukan lainnya. Astaga! Apa yang sedang aku alami ini? Siapa pula gadis itu? Dan bagaimana caraku menegurnya?

Seingatku aku sudah mengunci pintu rumah kontrakanku rapat-rapat sebelum aku berangkat bekerja pagi tadi. Lantas, bagaimana bisa ada orang asing masuk rumah ini begitu saja? Rumah kontrakan ini terlalu kecil untuk menarik perhatian maling. Aku sengaja menyewa rumah ini agar bisa lebih dekat dengan tempat kerjaku yang mana jaraknya cukup jauh dari rumah orang tuaku. Rumah mungil ini hanya memiliki satu kamar berukuran 3x3, serta dapur mungil, dan kamar mandi. Televisi kuletakkan di ruang tamu—yang sekaligus ruang makan—dan aku jarang memakainya. Lalu, apa yang membuat gadis ini kesasar di sini?!

Jujur saja, sungguh, lekuk tubuh gadis itu sangat indah. Tubuhnya sintal dan padat. Tidak gemuk. Dan wajar saja jika pria normal sepertiku akan menelan ludah demi menahan kekacauan mental yang sedang dialaminya. Aku ingin pergi dari kamarku, tapi juga ada rasa sayang jika aku melewatkan pemandangan indah di hadapanku ini. Lagi pula ini kamarku, kan? Harusnya gadis itu yang pergi!

Aku mengalah. Dengan berharap bahwa kejadian yang kualami ini hanya imajinaku saja karena kelelahan setelah bekerja, maka aku putuskan untuk mencuci mukaku sejenak. Aku memutuskan untuk mandi sekalian, sekaligus mengulur waktu. Kukenakan lagi baju yang telah kupakai bekerja. Aku tak mungkin mengambil baju ganti di kamarku yang saat ini—entah masih atau tidak—sedang dihuni oleh seorang gadis yang telanjang bulat.

Aku menyeduh teh, lalu kubawa ke ruang tamu. Kulepaskan lirikanku ke kamarku untuk memastikan keberadaan gadis itu. Sekelebat aku bisa melihat kaki hingga pahanya. Dia masih ada di sana! Segera saja aku menuju ke ruang tamuku. Aku ingin mendinginkan pikiranku dulu.

Mulai senja. Aku menduga sudah berapa lama gadis itu tidur di kasurku. Sebentar lagi kasurku yang beraroma khas lelaki pasti akan memiliki aroma lain! Kira-kira, jika gadis itu datang sedari pagi, pasti tetanggaku akan mengetahuinya. Tapi mereka sama sekali tak menegurku saat melihatku pulang dari kerja. Itu artinya mereka tak tahu-menahu tentang gadis ini. Mungkin siang hari, ketika para tetanggaku mulai lelap dalam istirahat siang? Entahlah. Aku menatap posisi kelambuku, memastikan tertutup dengan baik. Tak mungkin aku membiarkan orang-orang tahu bahwa ada gadis yang tinggal di rumahku.

Tehku sudah hampir habis. Sepertinya aku harus berbuat sesuatu untuk menangani gadis itu. Semoga saja dia bukan makhluk jejadian. Aku takut menghadapi hal semacam itu. Dengan sedikit ragu, aku mulai melangkah menuju kamarku. Aku tak pernah membayangkan masuk kamarku sendiri dengan kondisi menegangkan seperti ini. Dengan hati-hati kulihat gadis itu. Sepertinya dia sudah mabung. Kulihat tubuhnya sudah dibungkus oleh selimut biru. Entah dari mana dia mengambil selimut itu. Aku ingin masuk, tapi ragu. Jantungku berdegup kencang. Kugenapkan tekadku, lalu segera saja kulangkahkan kakiku untuk memasuki kamarku.

Gadis itu menoleh padaku saat menyadari kehadiranku. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali. Lalu tersenyum usil. "Maaf, kasur kamu aku pakai," katanya.

"Ka... kamu?!" Aku tergagap bukan karena terkejut atau apa, tapi lebih karena merasa mengenal gadis itu. Dan rasanya, itu tidak bagus.

Kali ini dia memutar badannya, menghadapku. Dia masih melilitkan selimut itu di tubuhnya rapat-rapat. Percuma! Aku sudah melihat bagian belakang tubuhnya! Kenapa tidak dari tadi saja?! Lagi pula, kenapa dia tidur telanjang seperti itu?! Yah, setidaknya aku belum melihat tubuh bagian depannya.

Gadis itu masih senyum. Tatapannya sayu. "Apa kabar?" katanya. Dia tak juga bangkit dari tidurnya. Tingkah gadis itu seakan memancingku untuk mendekatinya. Atau mungkin aku yang memancingkan diri agar bisa mendekatinya? Entahlah. Lagi pula pria dan wanita saling memiliki magnet, bukan?

Kudekati dia. "Kamu?" kataku lagi. Aku masih bingung ingin menanyainya bagaimana.

Gadis itu tersenyum. "Jangan melihatku seperti itu! Gugup tau!" larangnya. Aku tak habis pikir, bagaimana seorang gadis bisa tak merasa gugup saat dia berada di hadapan seorang pria dengan keadaan telanjang. Jelaslah kamu gugup! Aku saja gugup!

Dia memanjakan diri di bantal. Merapatkan genggaman selimutnya dan bergoyang-goyang manja. Seperti menunjukkan isyarat bahwa dia tak mau bangkit dari tidurnya. Aku mengalah. Jadi, aku duduk saja di bibir ranjangku.

"Bagaimana kau bisa masuk ke sini?" tanyaku.

"Aku punya kunci," jawabnya jelas. Aku tak percaya.

"Bagaimana kau bisa punya kunci?" tanyaku ragu. Kunci rumah ini hanya diberikan padaku oleh pemilik rumah karena aku adalah satu-satunya pengontrak rumah ini. Itu setahuku. Dan seharusnya memang begitu.

"Sayang... bagaimana aku tak punya kunci rumahku sendiri?" kilahnya.

Aku mulai merasa ada yang tak benar dengan ucapannya. Pertama, dia bukan pemilik rumah ini. Kedua, dia tak mungkin memanggilku sayang karena kami tak memiliki hubungan apa-apa. Ketiga, ada yang tak beres dengan caranya berbicara yang tenang itu. Entah dia berniat menggodaku atau bagaimana. Yang jelas, aku mulai merasa ada yang janggal sekarang.

Tentang gadis itu, biar kujelaskan sejenak. Namanya Maya. Dia temanku semasa SMA. Menurutku, dia cantik, menarik. Dan aku memendam rasa padanya. Ya, itu dulu. Sampai kepengecutanku akhirnya membiarkan perasaanku itu berkarat dan musnah digerogoti waktu.

Kami tak pernah akrab. Bahkan dia senyum padaku pun jarang. Bisa satu kelompok dengannya, lalu ngobrol sedikit saja sudah merupakan anugerah. Aku suka senyumnya, namun dia tak  pernah senyum denganku. Nyaliku terlalu ciut jika harus mengajaknya berbicara maupun bercanda. Kami berpisah selepas SMA. Semenjak itu, aku tak berusaha memikirkannya lagi.

Lantas, bagaimana bisa dia hadir telanjang bulat di kamarku sambil berbicara mesra seperti ini?!

Kata-katanya membuat wajahku merah dan mati kutu. Jantungku berdegup kencang. Lidahku kelu. Aku tak ingin terlihat salah tingkah di depan gadis itu. Tidak untuk saat ini. Aku sudah terlalu dewasa untuk bersalah tingkah.

"Sebentar, maksudnya bagaimana?" ucapku. Ada penekanan nada yang membuatku terlihat tak tenang.

Gadis itu lantas bangkit dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Tatapan ramahnya berubah datar. Jarak wajah kami hanya tinggal beberapa cm.

"Kau lupa kalau aku ini istrimu?" ucapnya.

Lelucon apa pula ini? Baru saja dia bertingkah seperti 'sahabat baik' dengan meminta maaf karena telah memakai kasurku dan bertanya apa kabarku, sekarang dia mau bermain-main dengan mengaku sebagai istriku?

Sepertinya aku benar-benar sedang berhalusinasi.

Jika ini mimpi, aku ingin segera terbangun. Tapi... sepertinya jangan dulu. Aku ingin tahu lebih lanjut tentang apa yang bisa kulakukan padanya jika dia benar istriku. Tak ada salahnya, kan? Toh, ini mimpi.

Kualihkan wajahku dari tatapan gadis itu. Aku tak bisa menyembunyikan kegusaranku. Kugaruk-garuk kepalaku meski tak gatal. Aroma napas gadis itu terlalu nyata. Dan aku bisa merasakan garukan kuku-kukuku di kulit kepalaku.

"Aku lapar..." erangnya kemudian. Dia tampak mulai merajuk.

"Eh? Aku tak punya makanan. Sebaiknya aku belikan dulu," ucapku. Lalu ingat, "...kamu, pakai baju sana!"

Kutinggalkan gadis itu dengan wajah kesalnya yang dibuat-buat. Setidaknya aku bisa terbebas sejenak dari keadaan absurd yang menimpaku ini. Aku membeli nasi goreng. Setidaknya, itu makanan yang paling mudah kutemukan saat ini. Sebenarnya aku enggan kembali, tapi karena memikirkan kemungkinan terburuk jika gadis itu tiba-tiba ke luar rumah dan ketahuan tetanggaku, maka sebaiknya aku menjaganya saja.

Saat kembali, kudapati dia sudah berada di ruang tamu. Menonton tv. Aku hampir mati kaget olehnya. Kekhawatiranku bisa terjadi jika dia sedikit lagi keluar rumah. Gadis itu saat ini memakai kemeja hitam lengan panjang bermotif kotak-kotak milikku. Sedang rambutnya diikat ke atas sekenanya. Dia tak memakai celana hingga kakinya terlihat menjuntai indah. Untung saja ukuran kemeja yang kebesaran itu mampu menutupi bagian terlarangnya. Iya, benar, kemeja itu kepunyaanku. Mengapa dia memakai kemejaku?

"Kok kamu pakai kemejaku?" tanyaku protes.

"Aku tak bawa baju," jawabnya acuh. Yang benar saja?!

"Iya, tapi kan bisa memakai kaus saja? Setidaknya ada yang ukuran lebih kecil. Kalau kemejaku besar-besar. Buat kamu kedodoran. Lagi pula, kamu kok bisa gak bawa baju itu bagaimana?" ocehku.

"Suka-suka, dong! Gak usah bawel, kenapa?" protesnya sambil memainkan chanel tv.

"Kamu tiba-tiba ada di kamarku, tidur telanjang bulat, dan sekarang ngaku gak bawa baju. Kamu kayak bukan manusia aja?" protesku tiba-tiba. Aku lupa bahwa dia dulu adalah gadis yang kusukai.

"Jadi, menurut kamu aku hantu, gitu?" protesnya. Dia terlihat kesal.

Aku panik. Bukan. Bukan karena gadis itu mulai kesal, tapi karena suara gadis itu mulai meninggi. Aku khawatir suaranya akan terdengar oleh tetanggaku. Sebaiknya aku ambil jalan aman saja. Aku mengalah.

Melihat aku yag melunak, dia pun turut melunak.

"Coba sini," pintanya. Dia mengulurkan tangan, memberiku isyarat agar aku juga mengulurkan tanganku. Kuberikan tanganku. Dia lantas menempelkan kedua telapak tanganku di pipinya. Lembut dan empuk. "Nyata gak?" tanyanya. Aku mengangguk.

Aku duduk di sebelahnya. Dan dia menyelipkan kepalanya di antara lenganku, kemudian bersandar di dadaku. "Nyata gak?" tanyanya lagi. Namun kali ini terdengar lirih. Aku bisa meraih kepalanya untuk mengusap rambutnya. Dia terlalu nyata untuk aku sangkal keberadaannya.

"Kangen..." bisiknya kemudian. Aku bisa merasakan desakannya yang makin erat di tubuhku.

"Iya, aku juga—" ucapku menyetujui perasaannya. "Kamu... bagaimana bisa masuk ke rumah ini, sih?" kejarku lagi.

Gadis itu terdiam. Dia tampak merenung. Tatapannya mengambang. Sejenak kemudian, dia mengalihkan pandangannya padaku.

"Sayang, apa kau bisa memilikiku selamanya?" tanyanya lirih.

Aku terkesiap, namun tetap kucoba untuk tampak tenang. Kubelai rambutnya yang masih terikat oleh jepit rambut itu. Mengganggu. Kulepas saja jepit rambut itu. Gadis itu diam saja. Saat ini rambutnya jatuh tergerai. Dia... Maya yang dulu kusayangi. Dia terlihat tak berubah sama sekali. Entah sudah berapa tahun semenjak pertemuan kami yang terakhir.

"Apa kau selalu memberiku kesempatan untuk memilikimu?" gumamku terlepas.

Gadis itu tersenyum pedih. "Aku tak mau berpisah darimu," bisiknya lagi.

"Aku juga tak ingin berpisah darimu," kicauku. Aku lupa bahwa aku telah membiarkan rasa pengecutku merelakannya lepas begitu saja.

"Tapi kau meninggalkanku!" protesnya kemudian.

"Aku... aku tak ingin meninggalkanmu!" ucapku.

Dia tersenyum makin manis. Namun tatapan pilu di matanya tak dapat dia sembunyikan. "Tapi semua sudah terlambat, Sayang. Kau sudah meninggalkanku," ucapnya.

"Tapi sekarang kita bersama, bukan? Aku tak akan meninggalkanmu!" kataku meyakinkannya.

Gadis itu diam sejenak. "Bagaimana kau bisa berkata tak akan meninggalkanku jika ternyata kau sudah pergi dari duniaku?" ucapnya yang kali ini terdengar lembut.

"Apa?! Apa maksudmu?" ucapku penasaran.

"Aku ini tak nyata," jelasnya. Aku terkesiap. Baru saja dia meyakinkan padaku bahwa keberadaannya itu nyata, sekarang dia berkata padaku bahwa dia itu tak nyata.

"Apa maksudmu?! Aku bisa merasakan keberadaanmu? Kau tak nyata? jangan bercanda!" kilahku.

"Aku tak nyata. Itu kenapa kau bisa merasakan keberadaanku. Karena kau juga tak nyata, Sayang," bisiknya. Air mata gadis itu mengalir keluar.

"Aku tak nyata? Apa maksudmu? Jangan lagi kau membuatku bingung!" Cukup sudah. Aku lelah dengan permainannya hari ini. Dia membuat semuanya menjadi ambigu.

"Kau selalu menyimpanku di dalam dasar hatimu. Itu kenapa kau selalu bisa melihat keberadaanku. Tapi, Sayang, yang kau lihat ini adalah aku yang ada dalam hatimu. Kau tak pernah benar-benar ada untukku. Kau... kau dan aku itu sama. Kita ini satu. Kau tak pernah rela menerima kegagalanmu untuk meyakinkan cintamu padaku," jelasnya.

"Aku gak ngerti. Aku gak ngerti apa maksudmu!" ucapku.

"Ragamu sudah mati, Sayang. Tapi pikiranmu masih hidup." Dia berbisik seperti halusinasi.

Kepalaku panas. Gatal. Kugaruk makin keras. Aku bisa merasakan kuku-kukuku menggores-gores kulit pekalaku yang gatal. Sementara gadis itu kudekap makin erat. Aku tak akan kehilangan dirinya. Tidak lagi. -->A.F

Posting Komentar

0 Komentar