Dua Penulis dan Takdir Mereka Dalam The Words

"The Words" adalah film yang ditulis dan disutradarai oleh Brian Klugman dan Lee Sternthal. Film yang menurut saya menarik ini tergolong "under-rated" karena kritikus film menganggap penutup filmnya kurang menarik. Walaupun saya berpendapat sama, saya beranggapan bahwa film ini layak untuk mendapatkan apresiasi lebih atas pembawaannya dari awal hingga akhir.

Jika dilihat dari segi judul, film "The Words" memang tidak berarti apa-apa selain kata-kata. Anda mungkin akan berpikir, apa yang bisa diceritakan dari sebuah film dengan judul "kata-kata" itu. Apakah ini adalah sebuah film filosofis? Bukan.

Film ini menceritakan tentang rangkaian kata-kata yang dapat Anda resapi maknanya secara lebih mendalam begitu Anda berhasil meluangkan waktu menikmati film ini.



Kisahnya dimulai dengan seorang penulis bernama Clayton Hammond (Dennis Quaid) yang baru saja meluncurkan sebuah novel berjudul "The Words" menghadiri sebuah Public Reading. Di sana, ia berdiri di atas podium untuk membacakan beberapa bab dari novelnya.

Di bab pertama, ia menceritakan tokoh utamanya yang bernama Rory Jansen (Bradley Cooper). Tokoh utamanya adalah seorang penulis baru dan muda yang langsung terkenal karena novel pertamanya yang berjudul "Window Tear." Namanya begitu terkenal hingga seorang pria tua hampir selalu menghadiri sebuah acara penghargaan yang dihadiri Rory walaupun pak tua itu tidak ikut masuk. Namun, ia selalu ada di sana, menunggu di depan pintu. 

Bab itu selanjutnya menceritakan awal kisah Rory yang bisa langsung terkenal dengan novel pertamanya. Ia dan kekasihnya, Dora (Zoe Saldana), akan segera menikah. Namun, Rory masih belum memiliki penghasilan yang cukup untuk kebutuhan rumah tangga mereka. Tulisannya kerap kali ditolak penerbit dengan alasan bahwa tulisannya terlalu berat dan tidak memiliki tempat di hati konsumen. Ia mulai putus asa.

Dalam keputusasaannya itu, mereka tetap menjalani bulan madu di Paris dan singgah ke beberapa tempat, termasuk sebuah toko antik. Di sana, Dora membelikannya sebuah tas kantor. Dari situlah semua dimulai.

Begitu sampai di New York, tidak ada yang menyangka bahwa tas antik tersebut berisi sebuah manuskrip novel. Ia pun membaca tumpukan kertas itu halaman demi halaman.

Dengan segala keputusasaan bekerja di sebuah percetakan besar tanpa bisa menjadi seorang penulis, ia menyalin seluruh manuskrip itu sesuai dengan isinya. Ia tidak membetulkan ejaan maupun tata bahasa yang salah. Ia menulis sesuai dengan yang tertera di atas lembaran-lembaran kertas itu. Ia pun tidak peduli lagi bahwa itu bukanlah karyanya. Yang ia tahu hanyalah bahwa karya itu tidak bernama dan juga tidak bertuan. Beberapa lama setelah tulisan itu dikirim, ia mendapatkan panggilan bahwa naskahnya diterima dan ia bersedia menandatangani kontrak kerja sama.

Itu adalah kisah awal Rory menjadi seorang penulis terkenal dan kisah yang kemudian membuka pertemuannya dengan Pak Tua. Itu juga menjadi akhir dari bab pertama novel itu. Pembacaan bab kedua tidak akan saya ceritakan di sini karena itu adalah isi yang menjadi inti cerita The Words.

Clayton pun beristirahat dan seorang mahasiswi bernama Daniella (Olivia Wilde) ingin bertanya lebih jauh tentang novel itu. Setelah selesai membacakan bab kedua di atas podium, Clayton mengundan Daniella untuk mampir ke apartemennya. 

Daniella mendesak agar Clayton menceritakan apa yang terjadi dengan mereka berdua hingga akhir. Setelah keinginannya dipenuhi, Daniella tidak puas dengan akhir yang disajikan. Kemudian, Clayton mengatakan, "bagaimana kalau kisah itu benar-benar terjadi?"

Dari poin ini, saya sebagai penikmat semakin yakin bahwa tokoh Rory adalah sosok fiksi dari Clayton. Terlebih jika dihubungkan dengan permintaan Pak Tua bernama Ben Barnes (Jemery Irons) pada Rory yang disampaikan Clayton di bab kedua bukunya. Namun, kemungkinan sebaliknya juga pasti ada. Akhirnya, penilaian tentang dari mana Clayton mendapatkan inspirasi untuk membuat novel itu berada di tangan Anda sendiri.

Overall, "The Words" disajikan dengan sangat baik dari awal hingga akhir. Namun, saya tidak ingin menyangkal bahwa pendapat kritikus, yang mengatakan bahwa konklusi film ini buruk, ada benarnya juga. Walaupun demikian, saya masih ingin memberikan apresiasi atas yang sudah dilakukan oleh kedua penulis sekaligus sutradara itu pada awal hingga akhir film ini.

Selain itu, walaupun Anda pasti sudah bisa menebak dengan benar siapa sebenarnya Pak Tua itu, "The Words" menceritakan lebih daripada sekadar plagiarisme terbesar dan tersukses dalam sejarah manusia. Film ini menceritakan sebuah kisah cinta dan pengorbanan yang disesali dari seorang Ben. Jika Anda percaya pada teori bahwa Clayton adalah Rory, maka Anda juga mungkin akan berasumsi kisah cinta keduanya bisa saja sama dengan kisah cinta Ben.

Saya tidak ingin berkata terlalu banyak untuk film ini. Menurut saya, "The Words" layak untuk mendapatkan at least 8 out of 10. Satu-satunya kesalahan dan kekurangan yang bisa saya amati hanya ada pada konklusi film ini. Sedangkan seluruh tokoh, latar dan jalan cerita dibangun dengan sangat baik. Anda juga akan belajar beberapa hal tentang menjalani rumah tangga dari film ini.

Saya sangat merekomendasikan film ini jika Anda ingin menonton sebuah film bertema cinta yang tidak monoton. 

That's all for now.


Gambar diambil dari Panthertrack

Posting Komentar

0 Komentar