TENTANG PERGANTIAN TAHUN, RESOLUSI, DAN REALISASI

Menurut tanggalan yang menggantung di tembok, sekarang ini tahun sudah berganti, dari 2017 menjadi 2018. Hari ini pun sudah memasuki hari kedua.

Semenjak beberapa hari yang lalu, sudah banyak orang yang mulai menuliskan resolusi mereka—entah serius, atau hanya ikut-ikutan tradisi biar tidak dianggap ketinggalan zaman.

Masalah yang timbul kemudian adalah bahwa sebenarnya pergantian antara angka 2017 ke 2018 itu sungguh sangat amat tipis sekali. Bahkan ketika kita turut serta merayakan pesta pergantian tahun pun kita tak benar-benar tahu kapan tahun itu berubah. Malam tetaplah malam. Jam digital antara satu dengan yang lain juga berbeda-beda. Bahkan sesama Indonesia saja tahun baru bisa ada tiga. Kembang api meledak dan bertebaran makin riuh semenjak pukul sebelas sampai pukul satu dini hari. Dan kita tak benar-benar tahu kapan tahun sudah berganti kecuali hanya dari petunjuk waktu yang kita bercayai secara subjektif—tentu saja, bagaimana kita bisa mempercayai waktu di Jepang sementara kita menginjak pulau jawa?

Masalah yang hadir kemudian, adakah waktu yang teramat singkat ini benar-benar mengubah kita atau membantu kita lebih baik kecuali hanya tradisi monoton yang tercipta dari tahun ke tahun yang fungsinya hanya untuk seremonial semata?

Satu tahun itu panjang. Resolusi-resolusi yang kita tulis, jika tidak benar-benar kita tanam dan kita bawa setiap hari, maka bukan tidak mungkin nanti sore kita sudah lupa apa yang kita tuliskan sebagai bentuk seremonial tahun baru itu.

Jika memang ingin benar-benar berkembang, bukan resolusi seperti itu yang kita butuhkan. Kita bisa berubah setiap hari. Kita bisa memulainya dari detik ini tanpa perlu menulis resolusi setiap pergantian tahun yang mana kadang di akhir tahun kita kelimpungan menjawab tagihannya jika ada kawan kita yang tahu resolusi yang kita tulis secara membanggakan itu.

Jika memang kita benar-benar memiliki keinginan untuk berubah, apakah mesti kita harus menunggu pergantian tahun untuk merumuskan perubahan itu? bagaimana jika hidayah itu datang di pertengahan tahun atau di sepertiga tahun? Bagaimana jika ternyata dua bulan berikutnya kita sadar rumusan resolusi kita itu sungguh meleset sekali? Lantas bagaimana pertanggungjawaban kita pada resolusi yang kita tulis itu jika kemudian kita justru tak ada kesungguhan untuk benar-benar merealisasikannya.

Jika mau berubah, berubahlah! Jika mau bergerak, bergeraklah!
Tak perlu menunggu tahun depan untuk menciptakan resolusi baru yang mana tahun ini mungkin belum kesampaian dan bisa jadi perencanaannya sudah dilakukan sedari tahun kemarin.

Posting Komentar

0 Komentar