ENGGAN SUNGKAN DAN HIJRAH


Perubahan adalah suatu yang paling niscaya dalam kehidupan. Begitu pun keinginan kita untuk berpindah dari yang buruk ke yang baik.

Namun, ada kalanya kita merasa enggan untuk bergerak dari posisi aman kita. Selalu saja ada tanya, “Apakah itu benar baik?” Bahkan tak jarang kita memikirkan ”Bagaimanakah reaksi orang sekitar kita?”

Keengganan timbul ketika kita tak mampu mengendalikan kenyamanan dari tempat aman kita dan ketakutan akan perubahan serta kondisi baru. Namun setelah kita mampu mengatasi keengganan ini, timbulah masalah baru yang merupakan lanjutan dari pertanyaan yang pertama: bagaimanakah reaksi orang terhadap kita?


Perubahan selalu menuntut sudut pandang baru. Maka tak jarang dari itu kita akan dihantui perasaan sungkan dan tak enak hati ketika kawan-kawan kita yang sudah terbiasa melihat “diri kita yang lama” tiba-tiba menertawakan atau bahkan mengolok perubahan kita yang mungkin saja terlihat drastis di mata mereka.

Bayangkan saja, kesehariannya, kita selalu bergaul dengan orang yang selalu meremehkan kebaikan dan kebiasaan ibadah orang lain, lalu tiba-tiba kita berubah menjadi sosok yang doyan ibadah dan rajin berbuat baik, penampilan pun lebih rapi dan sopan. Munculah suara-suara sumbang untuk meledek kebiasaan baru kita itu. Bahkan tak jarang, karena merasa sungkan dengan pandangan mereka, kita pun melakukannya dengan sembunyi-sembunyi dan tetap bersikap biasa saja selama bersama mereka. Tentu saja itu tidak salah. Selain untuk menyeimbangkan pandangan mereka kepada kita agar tak terlihat terlalu ekstrem (karena merasa marah, malu, dan emosi negatif lainnya bisa membuat kita meninggalkan kebiasaan baru kita dan kembali kepada kebiasaan lama), hal itu juga bisa membantu kita terbiasa dengan perubahan kita, karena kadang kala sesuatu yang dilakukan secara mendadak dan ekstrem itu hanya bertahan sementara saja. Ibaratnya “hangat-hangat tahi ayam”.

Perubahan tentu saja merupakan hal yang berat. Apalagi kita meninggalkan kebiasaan buruk yang sudah mengakar agar kita kemudian bisa lebih baik lagi. Bahkan seorang murid spiritual pun sering kali harus menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk terlepas dari kebiasaan lama mereka dan mengakar pada perubahan baru yang lebih baik dan lebih tercerahkan.

Sedang kiat untuk mengusir rasa enggan serta sungkan agar kita bisa berhijrah sendiri:

1.  Pastikan kita berada dalam pergaulan yang tepat.

Memilih teman itu perlu. Terlebih bagi hati yang lemah dan tak mampu berpegang pada apa yang perjuangkannya. Pastikan teman kita tak mempengaruhi kita ke dalam hal buruk yang justru menjauhkan kita dari hal negatif. Begitu pula, jika kita berada dalam lingkungan “toxic” yang sangat menghambat perjalanan kita kepada sesuatu yang baik, maka tinggalkanlah kelompok itu. Jangan ragu untuk berpijak dalam lingkungan baru yang lebih terbuka. Jangan takut tak punya teman. Banyak perjalanan spiritual dilakukan sendirian.

Kita bisa kembali kepada kawan lama itu jika dirasa pegangan kita telah kuat dan mampu berpengaruh. Namun jika kita masih mudah terseret badai bahkan tak mampu melawan laju angin, maka bisa disarankan untuk menghindari lingkungan “toxic”.

Salah satu ciri yang paling mudah dilihat dari lingkungan “toxic” adalah: mereka mudah membicarakan keburukan orang lain. Dan mereka mudah meremehkan serta menertawakan kebaikan dan niat orang lain yang tak sejalan dengan mereka. Sering kali mereka menganggap munafik orang-orang yang berniat untuk berubah maupun berbuat baik.

2. Tutup telinga dari suara sumbang.

Sebuah niat membutuhkan tekad. Dan ketika tekad itu masih lemah, maka kita akan dengan mudahnya terpengaruh oleh suara-suara yang berusaha menyurutkan niat kita. Begitu juga saat kita dilanda rasa sungkan karena perubahan kita yang terlalu mencolok. Kita ditertawakan, kemudian merasa terasing. Karena tak mau dipandang aneh, kita memilih kembali kepara arus yang ramai dan mendengarkan suara sumbang yang seolah lebih mengerti kita dibandingkan diri kita sendiri.

Patut diingat bahwa apa yang terjadi pada kita bukanlah masalah ataupun urusan orang lain. Tak bisa dipastikan setiap orang yang menghalangi niat kita untuk berubah lebih baik itu akan selalu hadir membantu ketika kita dalam masalah dan kesulitan. Itu baru urusan dunia. Bagaimana jika nanti kita berada dalam kesukaran di akhirat, di mana setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri atas perbuatan dan tingkah laku serta amalannya di dunia.

Luruskan niat. Tutup telinga dari suara sumbang. Bahkan jika suara itu terdengar dari orang terdekat, dari saudara, dari orang tua. Lebih baik lagi jika kita mampu mengajak mereka untuk berubah.

3. Tabah, sabar, dan konsisten.

Hal yang paling sulit dilakukan selanjutnya adalah menjalankan perjalanan itu sendiri. Betapa kadang kita merasa kesepian di jalan yang kita tempuh. Betapa kemudian kita merasa terasing.

Perjalanan semacam itu harus ditembuh dengan kesabaran agar kita mampu menjaga konsistensi langkah kita. Tetap tabah meskipun banyak suara sumbang menampar kita serta kesendirian yang terasa begitu sunyi dibandingkan keramaian gemerlap di pulau seberang.

Betapapun kita telah memulai, jangan pernah ragu dan malu.

Terus saja melangkah dengan langkah tegak. Dengan niatan lurus untuk berubah lebih baik. Hindari keinginan untuk membalas atau meratapi perkataan buruk yang dilontarkan pada kita.

Sejatinya kita berhak dan bertangung jawab pada diri kita sendiri serta jalan yang kita pilih.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Sepertinya aku baca ini di saat yang tepat. Meski agak telat :v *habis menggelegar lagi sama salah satu orang rumah.

    Yah udah lah XD

    BalasHapus
Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)