Aku dan Film: Ratatouille


Jika sebelumnya saya hanya membahas sedikit film ini di tulisan tentang kuliner karena masih berhubungan, kali ini saya akan membahasnya secara penuh sesuai kemampuan saya. Mungkin saya akan memasukkan sedikit resensi atau analisis berdasarkan pemikiran seseorang yang suka menonton film di mana alasan untuk itu mungkin tidak lebih dari cara belajar saya yang visual.

Saya masih belum begitu yakin tentang alasan pemilihan tikus sebagai karakter utama film animasi ini. Alasan terkuatnya menurut saya adalah karena “rat” (tikus) adalah tiga huruf pertama nama makanan itu dan secara tidak langsung merupakan musuh besar bagi rumah makan yang akan menciptakan konflik alami bagi tikus yang menjadi tokoh utama dalam film ini.

Film dimulai dengan menceritakan kehidupan seorang tikus bernama Remy yang memiliki kemampuan memasak dan penciuman yang tajam akan bahan masakan yang dipakai dalam suatu makanan. Petualangannya dimulai ketika dia terpisah dari koloni dan keluarganya di selokan yang membawanya hingga menemukan restoran terkenal di Paris di mana Chef favoritnya, Gusteau, dulu memasak. Dalam petualangannya, dia memiliki seorang teman bicara imajinasi dalam wujud Gusteau ketika dia sedang sendirian. Hasratnya yang mencintai dunia memasak pun tersalurkan lewat Linguini, anak Chef Gusteau, yang datang untuk meminta pekerjaan.

Semua berjalan baik hingga konflik dimulai dengan Skinner, pengganti Gusteau, yang akhirnya membaca surat wasiat yang menyatakan bahwa Linguini akan menjadi chef selanjutnya. Konflik berikutnya, yang menentukan masa depan restoran, dimulai ketika Anton Ego yang merupakan seorang kritikus makanan mengumumkan bahwa dirinya akan datang untuk melakukan penilaian. Tentunya dari semua konflik itu masih ada hal-hal menarik lain dari sebuah restoran yang mungkin sebagian besar belum kita ketahui.

Bisa dikatakan bahwa film ini berhasil menceritakan tentang kehidupan penuh konflik seorang chef dengan jujur. Di mana dia harus menghadapi seorang kritikus yang selalu bisa menuliskan kekurangan dalam makanannya untuk dibaca semua orang, selalu mencari celah untuk menjatuhkan reputasi yang intinya adalah seorang musuh sejati. Masih belum berhenti di situ, sebuah restoran dengan nama chef terkenal sebelumnya juga pasti akan cepat berada di ambang kehancuran jika memiliki penerus yang tidak kompeten, dalam film ini, contohnya adalah Chef Skinner yang mengubah restoran itu menjadi sebuah rumah makan semi pabrik makanan kaleng.

Menurut saya, eksekusi film ini luar biasa. Semua pihak yang memegang peran penting dalam pembuatan film ini saya rasa sangat kompeten. Mulai dari pemilihan pengisi suara karakter, naskah, dan animasinya sangat alami, rinci, dan pas. Warna-warna yang dipilih untuk mendukung cerita juga sesuai tempatnya: tidak berlebihan, tapi juga tidak biasa.

Dari segi nilai moral, mungkin selama ini kita menduga bahwa upaya-upaya pelengseran dan konflik kekuasaan hanya terjadi di pemerintahan dan sebagian kecil di dunia kerja. Namun, dalam film ini kita bisa mengerti bahwa hal-hal semacam itu juga bisa terjadi di dunia kuliner dengan menampilkan pemikiran Skinner dan usaha yang dilakukannya agar Linguini tidak merebut posisinya. Kita mungkin berpikir bahwa dunia memasak hanya berisi orang-orang yang mencintai kuliner dan ahli di bidangnya, tapi dalam film ini kita juga akan melihat bahwa ada orang-orang tertentu yang ingin mengambil kembali posisi yang telah direbut darinya seperti seorang pemberontak dalam suatu pemerintahan.

Mengenai kritikus makanan yang selalu menjadi musuh paling setia seorang chef, kualitas yang melekat dalam diri Anton Ego digambarkan dengan sempurna. Ruangan luas dengan bentuk seperti peti vampir tempat dia menulis kritik dalam kesendirian, tangan-tangan panjang yang menyerupai cakar burung pemakan daging, serta rambut lurus yang disisir ke belakang dipadu dengan jas dan celana hitam rapi mampu menggambarkan sosok Ego yang tegas dan menakutkan. Masih banyak lagi kualitas dalam diri karakter Ego dan karakter-karakter lain yang menurut saya membuat film ini amat sangat nyata.

Tentang Ego yang seharusnya mendapatkan peran kontra dengan karakter utama seperti yang diceritakan di awal, dalam film ini Ego akhirnya malah menjadi penyelamat dan pendukung restoran itu, terlepas dari kesentimenannya pada Gusteau. Ini adalah salah satu poin yang saya suka dari film yang berdurasi sekitar 1 jam 50 ini. Pembuat cerita mampu membawakan sisi paradoks yang ada dalam diri manusia dengan halus tanpa harus ada pengkhianatan atau pun teknik twist mendadak dalam cerita yang membuat kita akan berpikir “ternyata...” tanpa harus mengucapkannya.

Hanya itu yang bisa saya ceritakan dari sekian banyak hal yang bisa diulas dari film ini di samping gambar-gambar makanan yang sangat menggugah selera. Walaupun film ini sudah ditayangkan di bioskop bertahun-tahun lalu, saya tetap menganggap film ini sebagai sebuah karya yang menyegarkan di tengah-tengah film yang kental akan twist dan tidak dibawakan dengan alami.


Gambar diambil dari huggingthecoast

Posting Komentar

0 Komentar