Mengapa Aku Menulis

sebenarnya apa yang aku cari dalam tulisan?
mengapa aku menulis?

itu yang sekarang ini masih aku cari.
sungguh. itu tak semudah hanya dengan menulis rangkai kata demi kata dan menyusunnya menjadi sebuah kalimat, lantas meramunya menjadi sebuah paragraf.
tak sesederhana itu.

ada ikatan batin yang lebih dari itu untuk membuat sebuah hubungan spiritual dengan tulisan kita sendiri.
setidaknya,
sebagian besar penulis pasti pernah memiliki keinginan yang sama,
"buku terbaik yang ingin aku miliki!"
setiap penulis, pasti ingin menuliskan buku seperti itu bagi dirinya sendiri.

malangnya, meski harus berkali-kali menulis, mungkin keinginan mereka itu tak akan pernah terwujud. pun bila penulisnya itu adalah penulis mumpuni yang menjadi idola mereka. pasti ada celah untuk merutuki dan menyempurnakannya menjadi buku ala "kita". dan begitulah, pena kita hadir untuk itu.

dengan sedemikian rumit kadar sederhana dari pertanyaan "mengapa aku menulis?"
maka hadir beragam proses dan beragam uji coba untuk merangkai kalimat untuk memuaskan nurani kita.

aku sendiri tak paham.
di detik ini,
setelah menulis ratusan judul, aku merasa tersesat.
sebenarnya, apa yang benar-benar aku inginkan dari menulis?

dulu kukira aku akan hidup lewat jalan ini.
namun sepertinya tidak.

alih-alih berusaha menjual karyaku, aku lebih suka membaginya secara gratis bila memang lebih mudah untuk menyebarkannya ke khalayak ramai. itu yang terjadi ketika karyaku masuk ke dalam suatu antologi. karena cetakannya yang terbatas, dan kukira tak bisa meraih banyak orang, maka lebih baik aku menyebarkannya kembali secara gratis, bila itu memungkinkan untuk menambah jumlah pembaca karyaku.

pesan.
apa itu yang dulu kukejar?
aku berharap bisa menyampaikan pesan dari isi kepalaku agar orang-orang mengerti dan lebih memahami.

memahami.
mendengar.

mendengar?
ataukah aku hanya ingin didengar?

tulisan-tulisan itu ibarat kata yang hendak kusampaikan, namun dengan medium terbatas karena aku merasa tak punya banyak waktu dan tenaga untuk menyampaikannya secara lisan kepada orang-orang. dan kurasa aku tak punya bakat atau daya tarik jika harus merekam suaraku daja untuk didengar oleh orang-orang.
toh, lebih baik mereka membaca tulisanku.

inilah yang terjadi:
aku terdiam di depan layar laptopku sembari memikirkan apa yang bisa kutulis dan apa yang bisa kusampaikan.

ah, banyak sekali. jika aku tak perlu memikirkan alur, bentuk, tatanan bahasa, ebi, judul, kerunutan naskah, kerapian bahasa, makna dan pemahaman pembaca,
maka kurasa aku bisa menulis banyak sekali.

BUANYAK SEKALIII...!!!

tapi itulah, kurasa aku harus memikirkan semuanya.
dan memikirkan semua itu seakan aku justru diikat dalam dogma sempit yang justru membatasi gerakku.

adakah berkarya dan menulis merupakan salah satu cara untuk membatasi manusia? atau justru itu adalah cara untuk membelenggu gerak pikir manusia?

rasanya ingin tertawa sendiri.

aku tak suka diatur, tapi aku begitu perhatian dengan aturan.
rasanya begitu tersiksa ketika terperangkap dalam aturan,
namun rasanya juga serba salah ketika mendobrak aturan itu sendiri.

aku akui, saat ini pikiranku mandek.
tulisan yang seharusnya langsung selesai sekali duduk untuk kuikutsertakan lomba itu harus mangkrak karena kepentok ide.

mudah saja, aku terlalu memikirkan aturan. aku terlalu memikirkan tema. aku terlalu memikirkan batas.

kau tahu karya ilmiah?
seperti itulah masalahku!
aku kepentok dengan "batasan permasalahan".
kamu bisa dengar suara para tukang kritik di luar sana?
mereka berteriak-teriak bahwa suatu cerita harus menceritakan satu hal.
mereka berteriak seakan cerita ini terlalu melebar ke mana-mana,
tanpa benar-benar berusaha memahami hakikat dan isi cerita itu.

mungkin saja ini bisa dibilang sebagai upaya membela diri sendiri atau upaya mencari benar.
mungkin saja ini wujud ego pengarang itu.

aku sendiri masih mencari
apa yang kucari dari menulis.

dulu,
jika bicara tentang dulu,
aku menulis karena ingin menyampaikan pemikiranku tentang dunia. pemikiran tentang segalanya.
aku berusaha mendikte lewat tulisanku.
namun, semakin ke sini,
aku merasa membutuhkan tulisanku sendiri untuk diriku pribadi.

jadi, kenapa aku menulis?

Posting Komentar

6 Komentar

  1. Untuk menelurkan tai-tai rasa coklat yang seperti mentega

    BalasHapus
    Balasan
    1. bagaimana kalau saus rasa coklat aja?

      Hapus
    2. itu sudah ada. bagaimana dengan coklat batangan rasa saus saja?

      Hapus
  2. Menulis bukan untuk membatasi. Begitu pula dengan menulis karya ilmiah. Yang membatasi adalah alamiah manusia sendiri yang memiliki keterbatasan waktu, biaya, dan ilmu, termasuk keterbatasan sumber rujukan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. perumpamaan "karya ilmiah" dan "batasan masalah" itu lebih pada menggambarkan bagaimana kita dituntut untuk menulis atau menceritakan sesuatu sesuai alur dan runut. terbatas pada tema dan tak boleh keluyuran naik-turun dan berlari-larian ke tema lain. biasanya penulis yang berusaha menjebol tembok "batasan permasalahan" ini akan dianggap melantur dan tidak fokus.

      contohnya, kita menulis sebuah kisah tentang orang beli donat. di tengah perjalanan dia dihadang monster tanaman. akhirnya dia memilih kabur dan menyelamatkan dirinya. mendadak dunia krisis karena banyak tanaman menjelma monster. karena hanya orang biasa, maka tokoh utama kita ini memilih menyepi di sebuah gurun pasir yang jauh dari tanaman. di sana dia hidup mewah bergelimang harta setelah menemukan lanpu ajaib yang dihuni jin dengan tiga permintaan. beruntungnya, karena kecerdikannya pada permintaan ketiga, dia meminta agar jin tersebut memberikannya permintaan yang tak terbatas.

      lantas kisah terlempar pada seorang pemuda yang dipercaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah tanaman. pemuda ini mash bingung dengan rencana pernikahannya dua bulan lagi. namun, tugasnya kali ini tentu saja membahayakan nyawanya. dia bingung hendak menyelesaikan tugas itu atau memilih mundur. jika mundur, maka dia akan dibebastugaskan dan dilepas dari kesatuan. namun tuntutan dari keluarga tentunya tak akan membiarkan hal itu. statusnya yang berseragam tentu terlalu gagah untuk ditanggalkan begitu saja. tapi dia juga sayang nyawa.

      akhirnya dia memilih menjadi tukang bubur.

      dst.

      jika dilihat sekilas, tulisan diatas terkesan tak bertema dan terlalu lepas dari tokoh utamanya.
      aku pribadi suka yang seperti itu, tetapi agaknya, saat ini lebih banyak yang menyukai tokoh sentral sebagai pengisi panggung dan menulis takdir cerita.

      Hapus
    2. Sekali lagi, batasan masalah ada untuk melindungi penulis dari keterbatasannya sendiri. Karena jika tidak ada batasan, lalu ngelantur seperti membuat fiksi, maka dia akan dituntut untuk menjelaskan hal yang "ngelantur" tadi untuk membuat pembaca mengerti. Sementara, mungkin kengelanturan itu akan membutuhkan waktu lagi untuk menemukan sumber rujukan, lalu menjabarkannya ke dalam karya ilmiah, lalu dari penjabaran itu dijelaskan lagi secara lebih rinci dengan mengutip rujukan lain, lalu kutipan itu dijelaskan lagi, lalu dihubungkan lagi ke kalimat "ngelantur" tadi. Akhirnya kembali lagi ke tema. Coba rasakan sendiri. Makanya, karya ilmiah yang batasan masalahnya banyak, selesainya akan lama dan hasilnya akan tebal. Beda kalo masalahnya cuma satu. Selesainya cuma 1 semester, hasilnya tipis. XD

      Hapus
Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)