Media

Rasanya ada yang kurang bila aku tidak mengerjakan hobiku hari ini, sekadar membuang waktu? Bukan, hobiku telah menjadi bagian dari keseharianku. Meskipun orang tuaku sering menganggap aku melakukan pekerjaan yang sia-sia dan mereka sering mengomeli aku dengan kata-kata tak jelas. Aku tetap mencintai hobiku. Sering aku dibuat gusar ketika gagal memanoramakan imajinasiku. Jika sudah seperti itu , moodku pasti turun drastis dan membuat orang disekitarku merasa tak nyaman. Beda ketika apa yang kubayangkan dapat kurealisasikan. Senantiasa aku pasang senyuman bak bulan sabit yang terhiasi bintang itu.

Kali ini, seperti biasa kuambil selembar kertas A4, kulipat jadi dua. Aku mulai putar imajinasi. Apa yang hendak kugambar? Tampaknya kejadian tadi siang sepulang sekolah menggangguku malam ini. Teman gadisku mangabaikanku. Entah apa salahku. Ataukah kemarin malam kukirim pesan singkat romantis padanya. Isi pesan itu, ”dalam malam kudamba kesetiaan sayapmu padaku agar berkepak dan menerbangkanmu kemari”. Tak habis pikir, apakah pesan seperti itu dapat menjauhkan hubunganku dengan Renita, nama temanku itu.

Aku tak mau dihinggapi rasa kangen ini. Sebagai pelampias, langsung kugambarkan wajahnya pada kertas A4 yang sudah kulipat jadi dua ini. Pensil mekanik 2B kupakai sebagai penggores sketsa wajahnya yang mungil setiap gores pensil ini membuat aku makin rindu dia. Secepatnya aku tebali sketsaku dengan pensil 5B yang sudah tersedia. Kini gambar wajahnya tampak nyata. Dia tersenyum, bibirnya tipis, matanya indah menyorot cahaya, rambutnya hitam kelam, disisirnya kesamping kiri. Tinggal kuberi rona pada mukanya dan warna tipis pada bibirnya.

Pensil warnaku sudah siap kugunakan. Jika teman-temanku tahu bahwa aku menggambar dan mewarnaimya dengan barang murahan ini, mereka pasti tertawa atau malah tak percaya. Pensil warna ini kubeli dengan harga dua ribu perak. Maklum, saku pelajar.

Ketika sedang asyik meronai Renita, ibuku keluar dan menegurku seprti biasa.

“Nggambar terus-nggambar terus nggak ada pekerjaan lain apa? Baca buku kek!” aku diam, dongkol, panas dadaku.

“Emang nggambar bisa buat cari uang?”

“Bisa!!” sahutku tegas karena tak kuat menahan panas di dada.

“Nggambar sekadar hobi, nggak mungkin orang hidup cuma bergantung pada nggambar.”

“Nasib jalan Tuhan, usaha kemampuan manusia, siapa tahu kalau tak dicoba?” Aku makin geram.

“Ya sudah, dikasih tahu kok ngeyel!”

Ibuku keluar rumah. Dadaku panas. Seandainya aku dapat membuktikan bahwa gambar itu cerminan manusia yang dapat membawanya sendiri menuju kecermelangan. Toh, banyak pelukis kaya. Meskipun kemampuanku berbeda jauh dengan mereka tapi kemampuan otak kami sama. Kami ciptaan tuhan.

Aku kesulitan menyelesaikan paras Renita ini. Padahal tinggal sedikit. Kejadian barusan membuat moodku drop. Lantas aku masuk ke dalam. Kuambil segelas air putih. Kutenggak, sebagai peredam api di dada. Aku kmbali ke meja depan tempat aku manggambar wajah Renita. Meski sudah drop, aku tetap melanjutkan gambar ini. Aku ingin memberikan gambar ini padanya. Semoga dia tahu maksudku. Renita.

Dengan puas, akhirnya kuselesaikan gambarku. Kini tinggal menghiasinya dengan kata singkat seperti biasa, karena itu sudah merupakan ciri khasku. Kutulis pada bagian bawah sebelah kanan gambar, “Keabadian bintang tergantug pada usia yang memandang”. Entah, dia tahu maksudnya atau tidak, yang pasti itu sudah cukup mewakiliku.

Gambar sudah siap. Sekarang bagaimana caraku menyampaikan gambar ini padanya? Kulihat jam dinding sudah pukul 20.45 WIB. Cukup malam untuk seseorang bertamu, apa lagi cowok ke rumah cewek. Tak pantas dilihat orang. Aku bigung. Kalau kuserahkan besok saat bertemu di sekolah, pasti suasananya berbeda. Kalau aku nekad, sarana untuk ke rumahnya pun tak ada. Motorku dipakai ayahku bekerja dan pulang pukul sebelas malam. Seandainya aku punya sayap untuk terbanh ke sana. Aku bingung. Aku tak mau manyerahkan gambar ini besok. Jikalaupun harus besok setidaknya aku ada usaha hari ini.

Aku keluar rumah, berlari menuju rumah temanku yang berjarak seratus meter dari rumahku. “Siapa tahu dia ada sepeda?” pikirku.

“Andi… An… Andi…!!!” panggilku ketika sampai di depan rumahnya sambil ngos-ngosan. Neneknya keluar.

“Andinya nggak ada nak! Belum pulang dari sore tadi!”

“Ya sudah, terima kasih nek!”

“Ya…”

Asem gimana nih? Tampaknya malam terlalu menyelimutiku . kulihat jam-jam dinding milik orang-orang yang dipajang di ruang depan sudah pukul 21.15 WIB. “Ganas” pikirku. Bagaimana selanjutnya? Otakku ruwet.kuraba-raba saku belakang celanaku. Aku bawa dompet. Aku langsung berlari menuju jalan raya. Tak peduli semalam apa nanti aku bertamu di rumah Renita. Aku sudah nekad.

Sesampai di jalan raya ternyata mobil angkutan umum tak kunjung tiba. Aku menanti seraya tak sabar. Dari jauh kuliatkilap-kilap lampu mobil Bison mendekat. Bison itu menghampiriku.

“Selatan mas?” tanya kenek mobil itu padaku. Mobil itu sudah penuh, tak ada tempat untuk aku duduk.

“Sudah penuh gitu, mas!”

“Enggak apa-apa, bisa diatur, mas!”

Dari pada lebih malam lagi, aku terpaksa naik bison merah itu. Kenek itu mengatur duduknya sedemikian rupa sehingga aku dapat duduk ditempat duduk kayunya. Panas sekali di dalam bison itu, sesak terlalu banyak orang. Aroma udaranya pun tak karuan.Bau keringat, parfum wanita, solar, makanan, asap rokok bercampur satu.Kepalaku pusing. Rona renita makin kudekap, aku tak mau paras manis ini tertinggal ketika aku melamun.

Duar! terdengar suara letusan. Mobil Bison yang ku tumpangi oleng pada bagian belakang kanan.

“Ban nya meletus, pri!” kata sopir bison pada keneknya.

“Turunin semua orang!”

Semua orang turun, termasuk aku. Jarak rumah Renita masih setengah kilo ditambah masuk gangnya. Lumayan dekat. Aku melihat sekeliling. Orang-orang yang tadi diturunkan tampak gusar menunggu mobil lain yang lewat.

“Nunggu operan nih, mas?” tanyaku pada kenek mobil.

“Iyalah mas, entah kok tumben sepi”.

“Kalau gak ikut, bayar gak, mas?”

“Nggak mas! duluan aja kalau mas mau!”

“ya sudah mas, makasih tumpangan nya!”

Aku bertolak dari tempat itu. Segera menuju rumah Renita. Tampaknya para penumpang yang senasib denganku tak sadar akan kepergianku. Mereka disibukan oleh masalahnya masing-masing. Tekad yang membulat di dadaku membuat aku kehilangan rasa lelah. Senyum Renita yang kugenggam senantiasa membakar semangatku. Aku ingin bertemu dia. Setengah kilo bukan hambatan lagi bagiku, itu sama dengan jarak rataan antara rumahku sampai sekolahku. Ratusan meter telah kutempuh. Langit yang tadinya cerah berhias ribuan bintang, kini mulai terserang mendung. Rembulan pun mulai malu-malu menampakan wajahnya. Melihat cuaca yang tiba-tiba berubah membuat perasaanku kalut. Entah perasaanku saja atau memang benar, kurasa ratusan meter yang kutempuh, tiada artinya. Jarak rumah Renita makin jauh. Nafasku mulai tersengal-sengal. Malam makin pekat.Mendung mulai menggangguku. Aku tak akan menyerah, Renita! Aku harus bertemu, kuingin mendengar suaramu setelah kau abaikan aku tadi siang.

* * *

Aku duduk melepas lelah didepan rumah Renita. Rumahnya tampak sepi, lampu depan sudah padam. Bahkan suasana perumahan tempat dia tinggal sunyi senyap. Datangku terlalu malam tampaknya. Entah sudah pukul berapa, aku tak membawa jam tangan atau han phone sebagai penunjuk waktu. Orang tuaku pasti mencariku. Aku jadi teringat ketika dulu waktu masih kelas dua SMP, aku pernah minggat dari rumah lantaran nggak tahan oleh ocehan orang tuaku yang selalu menyalahkanku. Aku pergi kerumah bibiku untuk mencari ketenangan. Akhirnya aku ditemukan oleh orang tuaku. Aku langsung diantar pulang oleh pamanku. Sesampai dirumah, rumahku ramai sekali dipenuhi tetangga sebelah.

Sekarang bagaimana? Tak mungkin aku berteriak memanggil Renita hanya untuk memberinya gambar ini. Dia dan keluarganya pasti berpikir bahwa aku tak punya etika. Tapi jika tak tersampaikan, percuma aku datang kemari.

Aku menunggu pagi di depan rumah Renita. Duduk dengan kaki terjulur, sesekali ku lihat rumahnya, bila saja dia tarjaga. Aku menoleh kekanan. Kulihat hansip ronda mulai berkeliling. Dia menuju kemari. Dari jauh perangai nya sangar, cukup membuat maling ketakutan.

“Sedang apa,nak?” dia menanyaiku dengan pasang muka seramnya. Aku merinding.
“Eng..enggak ngapa-ngapain pak !”

“Terus ngapain disini?”

“Cuma melepas lelah, pak! Capai habis lari-lari tadi.”

“Malam-malam lari-lari? Bohong! Kau mau nyuri, ya?”

“Nggak, pak!”

“Lalu kenapa kamu dari tadi lihatin rumah ini kalo nggak mau nyuri? jangan-jangan kamu maling tanaman yang lagi diburu penduduk?”

“Maling tanaman? Bukan,pak!”

“Ah, jangan bohong! Sudah banyak penduduk sini yang kehilangan tanamannya mulai dari; bongsai, lidah buaya, anggrek, sampek enceng gondok yang ada di kolamkupun ikut di embat! Sudah banyak saksi yang melihat maling itu, kata mereka dia masih muda. Lha, kamu?”

“Sumpah bukan bukan saya , pak! Saya tadi kemari untuk bertamu.”

“Lha, orang yang bertamu malam-malam itu namanya maling!”

“Sumpah pak! bukan!”

“Sudah jangan ngeyel! Ikut saya ke pos!”

“Enggak mau pak! Saya nggak salah! Saya ini pacar putrinya yang punya rumah ini.”

“Renita?”

“Iya pak!”

“Setahuku Renita belum punya pacar.”

“Bapak tahu?”
“Aku ini bapaknya Renita, yang punya rumah ini!”

Matilah aku. Selama ini saat kerumah Renita aku belum pernah bertemu bapaknya, dia selalu bekerja. Kalau ibu dan kakaknya serta adiknya sih, aku masih tau.

“Sekarang kamu tidak bisa lari. Kita lihat kamu jujur apa enggak. Aku bangunin Renita dulu.” Hansip berwajah seram itu masuk ke rumah Renita. Benar dia bapaknya? Beda sekali dengan putrinya yang lembut. Aku benar-benar merinding sekarang, harusnya aku masih bias lari, pergi dari sini. Tapi kakiku berat, gemetar. Seandainya tadi aku tidak mengaku-aku bahwa aku pacarnya Renita, tak sekalut ini aku. Senyum Renita yang kugenggam tampak kabur olehku.media yang kuandalkan untuk bertemu dan menciptakan suasana romantis dengan Renita sudah tidak bercahaya. Gambarku mati.

“Ada apa sih, yah? Ngantuk nih!”

“Sini bentar ayah mau Tanya!”

Suara Renita sudah terdengar. Seharusnya aku senang bertemu dia, apalagi mendengar suara manjanya. Bukankah itu memang tujuanku dari awal? Tapi sekarang suasananya berbeda. Aku sudah ngibuli bapaknya dengan bilang bahwa aku pacarnya. Apa kata Renita nanti?

“Nit, kamu kenal dia?”

“Rendiz?” Renita menatapku dengan muka terheran . kubalas dia dngan pandangan melankolis.

“Ada apa, Ndiz?”

“Dia pacarmu, Nit?”

“Bukan! Kami Cuma teman satu sekolah kok! Beda kelas!”

Deg! Bokap Renita melirik ke arahku. Aku makin bingung.

“Dia bilang ke ayah kalau dia pacarmu!”

“Nggak kok, kamu bilang gitu Ndiz?”

Aku kelabakan menjawab pertanyaan Renita. Mereka berduamemandang tajam ke arahku.

“ Iya tadi…” Aku jujur.

“Kamu kok gitu, Ndiz?”

“Kamu ketahuan bohong, nak!”

“Maaf! Tadi itu saya Cuma..”

“Aku nggak peduli, kamu tuh emang nyebelin”

“Bukan gitu Nit, tapi…”

“Udah dasar penipu!”

“Nit… Nita, duh!” Dia ngambek.

“Apa alasanmu nak? Kamu mungkin bukan pencuri tanaman yang sedang dicari warga, tapi kamu sudah membuat putriku marah.”

“Bukan maksud saya om, tapi kenapa dia begitu marah pada saya? Saya merasa perjuangan saya utuk sampai kemari, sia-sia.”

“Memangnya apa tujuanu dating ke rumah orang tengah malam begini?”

“Cuma ingin nyerahin ini, om pada Renita.” Kusodorkan hasil gambaranku pada bapaknya Renita.

“Lihat! Lumayan juga bakatmu. Tapi apa maksudmu ini? Di sini ada tulisan, apa maksudnya? Kamu mau merayu putriku dengan gambar ini?”

“Enggak kok, om!”

“Masa’?”

“Benar!” Aku menoleh ke pintu rumah Renita. Ternyata dia masih berdiri di sana, memperhatikan kami. Keringatku mengucur deras.

“Aku pernah muda, nak! Pernah seusiamu!” Aku diam, mati kata. Renita tampak jengkel padaku. Dia membiarkan aku diinterogasi oleh bokapnya yang seram ini.

“Ingat zaman kalau mau ngerayu orang! Sekarang bukan zamannya lagi pakai media yang seperti ini! Kamu tadi kemari naik apa?”

“Naik Bison, terus Bisonya bannya meletus, jadi saya lari saja kemari.”

“Lari? Pakai kaki?”

“Iya, om. Sudah biasa!”

“Iya kamu biasa. Terus putriku?”

“Renita kenapa, om?”

“Duh, enggak-enggak! Pokoknya kedatangan kamu kemari sudah bikin masalah!”

“Kok bisa? Saya kan enggak sengaja, om! Lagian om duluan yang nuduh saya maling!”

“Ngeyel kumu? Kamu itu sudah bikin masalah! Pokoknya kamu itu salah!”

Nasib buruk aku bertemu dengan ayahnya Renita, sudah tukang ngeyel, matre pula. Renita tampak tersenyum simpul, entah apa sebabnya. Aku pasrah menghadapi orang ini.otakku kosong. Melihat Renita tersenyum perasaan ku makin kacau. Ayah Renita masih diam, dia menunggu perkataan dariku. Di sela keheningan ini, Renita berjalan menghampiri kami.

“Lihat gambarnya dong, yah!” Pinta Renita pada ayahnya. Sekarang gambar itu sudah di tangan Renita. Dia mengamati gambarku dengan mata yang berbinar, persis apa yang kugambar. Paras wajah renita tidak menunjukkan kalau dia baru bangun tidur dan masih mengantuk. Dia tetap tampak manis.

“Kamu kenapa pakai bohong segala ke ayahku?”

“Enggak, soalnya tadi aku bingung harus bilang apa. Tadi aku tuduh maling tanaman sama ayahmu.” Renita tersenyum geli.

“Kenapa enggak jujur saja bilang kalau kamu itu teman aku?”

“Duh, gimana ya? Keceplosan sih!” Jawabku mengelak. Renita sudah stabil lagi. Dia mulai ramah padaku. Padahal beberapa menit yang lalu dia ngambek tak karuan. Dasar cewek!

“Jadi kamu tadi bohong dong sama ayahku?”

“Pinginnya sih enggak!” Aku bingung harus jawab apa lagi, sedangkan ayah Renita masih ada bersama kami. Renita bicara terang-terangan sekali.

“Nit, sudah bisa ayah tinggalkan?”

“Iya, yah!”

“Ya sudah, hati-hati! Jangan tidur terlalu malam!”

“Iya, yah!”

“Jaga putriku, nak! Awas kalau kamu apa-apain, apalagi bikin dia nangis! Ingat, kalau kamu ke sini lagi, om mau bicara sama kamu!”

“I… iya, om!” Jawabku terbata.

“Ya sudah! Ayah ronda dulu!”

Ayah Renita pegi meninggalkan kami berdua. Renita menatapku. Dia tersenyum padaku dengan makna tak jelas. Aku jadi salah tingkah dibuatnya.

“Jangan dipikirin! Ayahku memang begitu, suka bercanda.”

Yang seperti itu dibilang bercanda? Bagaimana kalau sungguhan? Aku bertanya sendiri dalam hati.

“Kamu lucu ya?”

“Eh… apa? Enggak! Lucu gimana?” Aku benar-benar bingung dibuatnya.

“Ngomong-ngomong, kamu kenapa kenapa kemari malam-malam gini? Terus gambar ini buat apa?”

“Gambar itu buat kamu. Aku bela-belain ke sini malam-malam Cuma mau ngasih gambar ini ke kamu.”

“Memangnya ada momen apa?”

“Enggak! Cuma tadi sepulang sekolah aku berpapasan dengan kamu. Eh, kamunya ngabaiin aku. Aku kepikiran, terus kemari. Deh.”

“Emang tadi kita papas an, ya? Kamu kok enggak sapa aku, sih? Jahat!”

“Bukan gitu! Aku kirain kamu marah setelah nerima sms dariku semalam.”

“Enggak, kok! Kenapa juga marah? Kata-kata kamu tuh puitis banget, tau?”

“Masa sih? Enggak juga kok!”

“Dibilangin juga!”

Mendung yang menyelimuti malam mulai ber guguran. Hujan mulai turun.

“Hujan, Ndiz! Masuk dulu gih!”
Aku dan Renita masuk ke rumah Renita. Hujan tampak makin deras.

“Duh, gimana aku pulang nanti?”

“Enggak usah kawatir! Nginap aja di sini! Nanti aku hubungi keluargamu.”

“Bukan gitu! Masa aku tambah ngerepotin aja? Sudah datang tengah malam, nginap lagi!”

“Enggak apa-apa, ada kamar tamu kok! Eh, kita besok masuk sekolah seperti biasa!”

“Iyakan? Memang!”

“Tapi kita jam segini belum tidur, bisa bangun pagi enggak, ya?”

“Duh, iya nih! Aku jadi ganggu kamu. Mending aku pulang saja, ya?”

“Apaan sih? Enggak boleh! Kamu sudah ganggu aku, sekarang mau pulang seenaknya!”

“Tapi kan, sudah malam!”

“Kamu tuh, dari tadi datang memang sudah malam, kok! Terserah kamu, kalau kamu memang mau pulang, pulang saja! Besok, lupain kalau kita pernah temenan!”

“Kamu kok jadi marah, sih?”

“Biarin!”

“Maaf deh kalau aku keterlaluan! Aku kemari bukan untuk tambah masalah sama kamu. Percuma dong aku bela-belain kemari kalau hasilnya nihil! Senyum dong!”

“Ih… kamu tuh, genit banget!”

Malam makin larut. Hujan masih berlangsung. Aku berduaan saja dengan Renita di ruang tamunya. Setidaknya aku dapat sedikit tenang karena hasil karyaku sudah sampai di tangan Renita. Media yang kuciptakan untuk membuat suasana romantis dengan Renita, tidak sia-sia. -->A.F

Posting Komentar

2 Komentar

Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)