Kutu Loncat, Harapan, dan Naungan



Sebagai seorang yang pernah dijuluki kutu loncat, sudah wajar bagi saya untuk melompat dari suatu naungan ke naungan lain. Bukan hanya dalam pergaulan, komunitas, organisasi saja, bahkan dalam pekerjaan pun suka berpindah-pindah. Alasannya tentu sederhana: saya mencari tempat yang nyaman. Nyaman dalam hal ini tentunya berhubungan dengan kualitas lingkungan tersebut. Sepadankah antara apa yang saya berikan dan yang saya dapatkan dari lingkungan tersebut. Sepadankah dengan apa yang saya harapkan?

Dengan pengalaman yang suka melompat dari satu tempat ke tempat lain, sudah wajar bagi saya untuk langsung bisa membaca satu gerak-gerika manusia, membaca sifat dan ambisi mereka. Di mana setiap rata-rata orang yang dibutuhkan hanyalah “apresiasi” dan “pengakuan”. Mudahnya, mereka membutuhkan perhatian. Itu yang dulu juga sering saya tuntut dari tempat-tempat yang dulu saya tinggalkan. Bergitu merasa tak diapreasi atau tak diperhatikan, maka saya akan pergi mencari tempat baru untuk memulai sesuatu yang baru yang mana bisa membuat saya lebih fokus untuk membangun citra diri.

Namun, dari segala pengalaman lompat-melompat itu, saya tak mendapati diri saya yang tak berkembang. Justru saya seperti berhenti di tempat. Menjadi tukang tuntut yang hanya semata terperangkap pada ego sendiri. Begitu tak puas, maka saya pergi.

Siklus seperti itu yang terus menjebak sehingga akhirnya saya seperti pecundang lain yang berkata bahwa pengalamannya tinggi dan dia pernah bekerja di perusahaan ini dan itu yang ternyata juga punya borok sama sehingga dia tinggalkan. Akhirnya dia tersangkut dalam perusahaan yang mau menerimanya. Karena track record sudah buruk, usia semakin muluk, dia pun tak lagi punya pilihan untuk mencari ini dan itu, sehingga akhirnya menerima apa saja yang mau menerima mereka.

Mendapat pengalaman seperti itu, akhirnya pun saya memikirkan juga sikap yang suka melompat dan doyam mengambek jika tak dituruti seperti itu. tentu wajar sebagai seorang manusia idealis memiliki keinginan ini dan itu dan berharap lingkungan kita bisa menjadi seperti apa yangkita mau, tetapi apakah kita sudah memberikan sumbangsih yang cukup dan sudah berusaha dengan baik untuk mewujudkan keinginan kita itu sendiri? atau kita hanya menjadi seorang perengek yang ingin segalanya dituruti tanpa melakukan apa-apa? Dan buruknya, jika kemudian itu tak cocok dengan kemauan dan keinginan kita, maka kita hanya bisa mencela tanpa berusaha untuk memperbaikinya?

Pernah saya berdiskusi dengan seorang kawan yang sudah 17 tahun bersahabat. Kami mendiskusikan tentang diri kami dan tentang prinsip-prinsip serta pengalaman yang kami pegang. Kami menemukan bahwa kami berdua memiliki sisi pandang yang berbeda. Kawan saya itu seorang perfeksionis dan saya adalah seorang idealis. Kawan saya selalu berharap apa-apa berjalan sempurna. Dia selalu memerhatikan setiap detil. Bahkan ketika kami akan tampil dalam sebuat festival band, kawan saya selalu memeriksa terlebih dahulu “di mana kami akan tampil?” “seperti apa tata panggungnya?” “acaranya bagaimana?” “kita tampil urutan ke berapa?” “siapa saja penontonnya?” “Lagu apa yang kebanyakan dibawakan band lain?” dan pertanyaan detil lainnya. Dia selalu memeriksanya dan memastikan bahwa kami tidak salah tampil. Namun, bergitu berhadapan dengan saya, saya akan langsung berkata, “Sudah! Yang penting tampil dulu! Kita tunjukkan ciri khas kita!”

Terakhir ketika kami berdua nostalgia mengenang masa-masa itu—yang suka ribut enggak penting hanya karena masalah band, lagu, dan lainnya—saya mendapatkan istilah dari film Sing Street, He’s like the brave captain, but it’s kind of all in his head!” untuk menggambarkan sikap saya saat itu. Ya. Saya bukan orang yang suka muter-muter dan banyak bicara untuk memutuskan sesuatu. Tetapi hanya itulah yang saya dapat, sesuatu yang tidak benar-benar matang karena saya hanya fokus pada eksekusi tanpa rencana dengan baik. Di situlah kami kembali mengenang tentang idealisme dan perfeksionis ini.

Hal ini tentu baik jika diterapkan pada keidealismean. Di mana idealisme itu cenderung pada ego dan tuntutan pribadi, sehingga kita tak perlu memikirkan perasaan orang lain, tak membutuhkan persetujuan mereka. Formula sederhananya adalah, “Lakukan! Jika tidak seperti ini, berarti kamu tidak kompeten!”

Hal lain adalah ketika kami naik gunung. Salah seorang kawan kami tumbang. Kawan 17 tahun saya memang selalu bisa diandalkan dalam situasi genting seperti apapun. Maka dia pun segera mengambil keputusan untuk ini dan itu. Dia bawa dua ransel gunung berukuran besar. Kawan yang lain juga sibuk membantu ini dan itu. sedang saya adalah tipe yang akan bergerak jika mereka semua sudah tumbang dan benar-benar membutuhkan bantuan saya. Ego yang saya miliki selalu berpikir bahwa saya tak akan bisa menolong orang jika saya sendiri tidak selamat dalam perjalanan itu. maka dari situlah, saya selalu mengutamakan diri saya lebih dulu di atas kepentingan orang lain.

Sehingga kemudian, ketika kami sudah turun dan pulang, kawan saya berkata bahwa keputusan seperti yang saya pegang itu akan membuat saya justru tidak bisa bertahan. Pikiran seperti itu akan membuat kita tak tahan pada tekanan. Tak mampu mengendalikan keadaan. Maka, ketika kondisi kacau dan tidak sesuai yang kita harapkan, kita akan memilih pergi untuk menyelamatkan diri terlebih dahulu dibandingkan turun untuk membantu. Kita akan uring-uringan karena kawan kita panik dan tak mampu berbuat apa-apa, sedangkan kita sendiri juga tak melakukan apa-apa. Namun, di ambang hidup dan mati, sifat sejati seseorang akan langsung terpampang lebar.

Pernah juga suatu kali saya mengobrol dengan seorang dosen komik—seorang senpai kamen rider—di jagad maya, saya bercerita tentang prinsip saya tersebut. “Saya seorang idealis, jika sesuatu tidak sesuai dengan yang saya harapkan, maka saya akan pergi.” Dia justru tertawa dan mengingatkan agar saya tidak terlalu meninggikan idealisme seperti itu. Wajar saja, saat itu saya baru menginjak usia dua puluhan. Betapa darah ini masih panas untuk ingin selalu dituruti. Namun, saya tidak semudah itu untuk merubah kekakuan saya. Berkali-kali kekecewaan harus saya tanggung untuk kemudian merenungkan semua nasihat yang masuk ke dalam kepala saya. Bukan langsung, “Kritik yang baik, ya diterima, yang buruk buang ke sampah.” Semua kritik dan masukan itu perlu untuk diolah dan dicerna baik-baik. Itu kenapa selalu ada waktu perenungan di tengah malam agar esok kita bisa lebih baik dari hari ini. agar kita terus berkembang dan tidak melakukan kesalahan serupa.

Saya masih memegang, “Jika sudah tak dihargai, maka lebih baik pergi.”

Namun, untuk benar-benar paham apakah kita memang tak dihargai atau kita yang tidak mampu berbakti adalah dengan benar-benar mengupayakan apa yang kita ingin dapatkan dan apa yang mengusahakannya dengan maksimal. Selama kita merasa itu tidak melanggar norma dan aturan, kita selalu bisa mengomunikasikannya. Dan bisa ternyata hal itu tak ada yang mampu mengeksekusinya, maka kitalah sendiri yang harus membuatnya.

Jika hal yang kamu inginkan masih belum ada, maka CIPTAKAN!

Seorang Guru pernah mengajarkan, “Janganlah terlalu mudah terbawa emosi. Emosi tak pernah membawa pikiran yang jernih. Ketika kamu memutuskan sesuatu dalam keadaan kecewa atau dalam keadaan emosi, maka saat itu kamu tidak benar-benar berpikir dengan baik.” Beliau lantas menambahkan, “Setiap makhluk berhak memiliki kesempatan, maka berilah mereka tiga kali kesempatan. Jika mereka melakukan satu kali kesalahan, maka maafkanlah, jika mereka melakukan dua kali kesalahan, maka tegurlah, jika mereka melakukan tiga kali kesalahan, maka hukumlah dengan hukuman yang tanpa dendam dan kebencian.”

Dari situ kemudian saya selalu memberi tiga kali kesempatan kepada apapun. Namun jika dalam tiga kali kesempatan itu tak kunjung ada perubahan, maka wajar jika kemudian kita patut menentukan sikap.

Prinsip seperti ini juga bisa kita terapkan dalam segala hal, termasuk dalam lingkungan keseharian kita, tentang bagaimana kita menyikapi orang dan sejenisnya. Namun, pastikan jangan pernah kita pergi karena amarah atau membenci. Pastikan kita pergi karena itu yang terbaik bagi diri kita. Pastikan kita bisa lebih berkembang di luar dan tak mengulangi kesalahan yang sama. Maka, ketika kita masih berada di naungan itu, usahakan yang terbaik. Usahakan yang terbaik untuk meraih dan mewujudkan apa yang kita inginkan.

Posting Komentar

0 Komentar