Cinta Bangsa Tidak Ada Hubungannya dengan Musik


Apa yang Anda pikirkan ketika pertama kali mendengar frasa “cinta bangsa dan negara”?

Apakah Anda akan mengatakan bahwa orang yang menyukai musik luar negeri tidak cinta pada bangsanya? Apakah orang yang kuliah di luar negeri kemudian memutuskan untuk bekerja di sana berarti tidak cinta negaranya? Apakah orang luar negeri yang kemudian memutuskan untuk berkebangsaan Indonesia pasti mencintai Indonesia?

Jika Anda berpikir demikian, saya hanya ingin mengatakan bahwa cinta bangsa sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu. Cinta bangsa lebih kepada soal prinsipil yang hampir tidak bisa dilihat oleh mata. Cinta bangsa adalah perasaan keteguhan dalam hati yang hanya bisa terlihat ketika bangsa itu berada dalam masalah. Jika seseorang itu memutuskan untuk membela dan bertahan, itulah cinta bangsa. Jika seseorang itu memutuskan untuk berjuang dan bersatu membangun bangsa, itulah cinta bangsa.

Di sini, saya tidak mengatakan bahwa orang yang mengonsumsi produk, tinggal, dan bekerja di Indonesia tidak bisa dikatakan sebagai cinta bangsa. Hanya saja, jika hal itu digunakan sebagai acuan, maka acuan itu terlalu lemah untuk dijadikan pedoman penentuan cinta tidaknya seseorang pada negaranya. Karena jika hal itu digunakan sebagai acuan, lantas bagaimana dengan orang yang hidup, bekerja, dan menggunakan seluruh produk Indonesia tetapi masih suka menghina sebagian atau seluruh masyarakat, kebudayaannya, serta kekurangannya? Pola pikir seperti itu tentu tidak mungkin diharapkan ada dalam diri suatu bagsa. Jika pola pikir seperti ini terus ada dalam benak masyarakat suatu negara, hasilnya tidak akan baik bagi persatuannya.

Saya juga tidak hendak mengatakan bahwa kita harus memikirkan orang-orang yang memiliki pola pikir seperti ini. Yang saya maksudkan adalah kita harus berhenti berpikir bahwa “cinta bangsa” hanya terbatas pada soal mencintai produk sendiri walaupun hal itu memang bisa digunakan sebagai acuan, tetapi bukan acuan yang mutlak.

Kita bisa mengatakan bahwa orang yang hanya menggunakan produk buatan negeri sebagai orang yang cinta bangsa. Namun, bagaimana jika mereka mempergunjingkan kekurangan negaranya dan menghina kemampuan penduduknya tanpa ada usaha atau saran yang bisa mengubah hal itu? Lantas, jika cinta produk dalam negeri digunakan sebagai acuan, bagaimana dengan orang yang tidak menggunakan sebagian produk dalam negeri dan hanya menggunakan sebagian yang lain, tetapi mati-matian membela dan membanggakan Indonesia? Oleh karena itu, saya menyatakan bahwa “cinta bangsa” hanya bisa dilihat ketika suatu bangsa sedang membutuhkan dukungan dan tolak ukur berada pada bagaimana sumbangsih seseorang itu pada bangsanya.

Kita tidak bisa mengharapkan semua orang mencintai bangsanya dengan cara memilih untuk terus tinggal di negaranya dan menggunakan seluruh produk yang diproduksi negaranya saja. Dalam hal ini, kita juga pasti mengenal tentang keberagaman di mana teori keberagaman menyatakan bahwa kita harus menghargai pilihan orang. Sehingga jika seseorang dalam suatu negara memilih untuk tidak menggunakan sebagian produk yang dijual di negaranya, hal itu sah-sah saja karena hal itu termasuk sebagai keberagaman ketertarikan dan bukan sebagai sikap tidak cinta negara. Namun, hal ini tentunya akan berbeda jika ada seseorang yang memilih untuk menghina negaranya. Penghinaan terhadap suatu negara, apalagi negaranya sendiri sudah mencerminkan bahwa orang tersebut tidak cinta pada negaranya, bukan sebagai sebuah keberagaman pilihan untuk mencintai dan tidak.

Di zaman di mana perang pemikiran semakin marak, seharusnya kita bisa membentengi diri terlebih dahulu dengan nilai kebangsaan, keagamaan, sosial, dan nilai-nilai pokok yang penting untuk persatuan bangsa lainnya sebelum menginjakkan kaki di atas podium di mana banyak orang akan menghujat dan memengaruhi. Jika sudah berada di atas podium itu, kesempatan kita untuk mengetahui sesuatu yang benar sangat kecil. Kita bahkan akan dengan mudahnya menganggap bahwa segala yang dikatakan oleh semua orang pintar adalah benar karena dari kecil kita diharuskan untuk mengikuti semua perkataan guru kita di mana kita secara tidak sadar mengakui bahwa guru pasti lebih pandai dari kita. Sehingga ketika kita telah besar, kita juga secara tidak sadar akan mengikuti semua perkataan orang yang kita anggap lebih pintar dari kita, kecuali jika kita memang memiliki pendapat berbeda dan terbukti lebih kuat daripada penjelasan dan perkataan yang diberikan oleh orang tersebut.

Dalam hal kebangsaan, kita tidak bisa dengan mudah menyetujui bahwa sesuatu seperti tidak memilih produk buatan bangsa termasuk suatu tindakan tidak cinta bangsa hanya karena seseorang yang mengatakannya adalah orang pandai. Terlebih dahulu, kita harus mengetahui mengapa orang tersebut melakukan hal itu. Jika orang tersebut memilih untuk produk buatan negara lain hanya karena dia suka dan bukan karena membenci produk Indonesia, maka hal tersebut harusnya lebih dimaklumi. Kita tidak tahu apa yang semua orang lakukan, bukan? Bisa saja orang yang kita kira tidak cinta bangsa karena memilih produk luar negeri sebenarnya sedang meneliti produk tersebut dan bermaksud untuk mengembangkan produk serupa tetapi buatan Indonesia. Jika hal di atas terjadi, tetapi kita sudah terlanjur memberikan label “tidak cinta bangsa” pada orang tersebut, apakah hal itu tidak termasuk menghina bangsa sendiri? Apakah hal itu tidak akan membuat orang itu pergi dari negaranya dan tinggal di negara yang menerima dirinya dan mengembangkan negara itu dengan produk yang dibuatnya? Hal seperti ini sudah pernah terjadi dan merupakan sesuatu yang disesali oleh generasi sesudahnya. Kita tidak mungkin melakukan hal serupa pada orang lain dengan cara yang sama, bukan?

Memberikan suatu label pada seseorang, apapun bunyi label itu amat berpengaruh pada hal yang akan dilakukan orang itu mendatang. Seperti yang kita ketahui, jika kita melabeli seseorang dengan hal yang baik, maka hal itu akan membuatnya bersemangat dan meningkatkan prestasinya. Sebaliknya, jika kita melabeli seseorang dengan hal yang buruk, maka orang tersebut akan cenderung memperburuk dirinya atau bahkan memutuskan untuk keluar dari lingkungan yang melabelinya tersebut. Jika orang itu mendapat label buruk dari tetangganya, maka ia mungkin akan keluar dari desa itu. Begitu pula jika seseorang dianggap buruk oleh orang dalam satu negara, maka orang itu mungkin akan keluar dari negara tersebut. Jika satu orang saja keluar dari suatu negara, hal itu berarti negara tersebut kekurangan satu tenaga untuk membangun negeri. Jika satu orang tersebut adalah orang yang sangat luar biasa, maka itu berarti negara tersebut kehilangan satu kesempatan besar untuk membangun negeri. Kita pun sudah tahu siapa orang yang kita maksud. Kita mungkin masih bisa dikatakan beruntung karena pada akhirnya orang tersebut kembali ke negaranya sendiri.

Frasa cinta dan tidak cinta pada negara memang berhubungan dengan pelabelan. Oleh karena itu saya tadi menjelaskan bahwa jangan sampai kita terlalu mudah melabeli seseorang dengan frasa “tidak cinta negara” untuk suatu hal yang belum kita ketahui seluruhnya. Karena bisa jadi bahwa sebenarnya orang tersebut lebih mencintai negaranya dibanding Anda dan bisa jadi bahwa orang tersebut nantinya menjadi sosok yang amat dibutuhkan negara karena kepandaian dan pengabdiannya pada negeri. Bukankah Anda ingin melihat anak bangsa membangun negeri ini? Bukankah sudah sering Anda temukan orang-orang luar negeri yang malah menggantikan tugas anak bangsa untuk membangun negeri? Jika sudah demikian, tidakkah Anda ingin berpikir kenapa hal itu bisa terjadi. Apakah pelabelan “tidak cinta bangsa” menjadi salah satu alasannya? Bisa jadi.

Gambar diambil dari Pixabay

Posting Komentar

0 Komentar