Bicaralah, Selesaikan Bersama



Sekali lagi saya terjebak dalam masalah komunikasi yang saya alami dan sepertinya juga dialami oleh sebagian besar orang Indonesia. Entah ini hanya dialami oleh orang Indonesia saja atau semua orang yang sedang menginjak kedewasaaan. Karena setahu saya, sebagian orang dewasa lebih suka untuk diam daripada mengumbar pembicaraan atau perasaannya pada orang lain. Entah apakah diam adalah suatu proses kedewasaan atau hanya karena rasa tidak percaya pada orang lain yang sebenarnya bisa diajak bicara, ataukah ini semua tentang kebijaksanaan diri yang berarti semakin bijaksana orang itu, dia akan lebih memilih diam daripada berceloteh.

Setiap orang memiliki pemikirannya sendiri-sendiri akan suatu pengalaman yang dialaminya; entah baik atau buruk, entah berhubungan dengan pendapat akan sesuatu atau perasaan pada seseorang. Pemikiran itu kadang ingin diceritakan pada orang lain, kadang juga tidak. Menurut saya, itu tergantung kekuatan orang itu untuk menanggungnya. Namun, ada juga orang yang melupakan pendapatnya begitu saja tanpa perlu memikirkannya berlarut-larut.

Di sini, saya hanya akan membahas orang yang tidak bisa menanggung pemikirannya sendiri dan memilih untuk membicarakannya dengan orang lain yang mungkin mengalami hal yang sama karena berada dalam lingkup yang sama dengannya. Hal itu bisa terjadi karena beberapa hal berikut ini.

1.   Menurut saya, sebagai makhluk sosial, orang akan cenderung mencari dukungan atas apa yang dipikirkan dan dirasakan. Sehingga tidak kaget jika ada kelompok, komunitas, atau organisasi tertentu dengan ketertarikan tertentu. Ini juga berlaku jika ada satu orang yang memiliki pemikiran tertentu yang perlu diselesaikan. Dia akan mengajak orang-orang terdekatnya dan menjelaskan begini-begitu tentang yang dipikirkannya hingga semua orang terdekatnya itu memikirkan hal yang sama walaupun sebelumnya tidak.

2.    Menurut saya, manusia itu diciptakan untuk mengurus dan membawa kedamaian di muka bumi sehingga wajar jika sebagian besar orang akan memilih untuk menghindari perang terbuka, atau lebih sederhananya: bicara langsung, dengan seseorang yang bertanggung jawab atas pemikirannya. Namun, kita semua tahu bahwa sifat seperti ini akan menciptakan pribadi yang pengecut. Jika tidak ingin melakukan perang terbuka, setidaknya pemikirannya itu bisa disampaikan secara damai dan langsung dengan cara menanyakannya kenapa begini, kenapa begitu; atau jika dirasa masih terlalu kasar, maka setidaknya bisa diikuti kegiatan orang atau organisasi itu dengan harapan seluruh kegiatan itu nanti bisa membenarkan atau menyalahkan pemikirannya.

3.    Menurut saya, manusia lebih suka jika dirinya disebut orang baik karena bayangan akan “penghuni neraka” terlalu buruk untuk citra mereka. Karena hal ini pula, lantas sebagian besar orang akan bermuka dua. Bermuka manis ketika bertemu, tapi ketika sedang tidak bersama akan membicarakan keburukannya. Tentu tidak salah jika orang yang bermuka dua ini disebut orang munafik di mana tempatnya nanti juga sama saja.

Masalah seperti ini tentunya tidak akan terjadi di lingkungan keluarga, pertemanan, organisasi, maupun kantor jika kita mengedepankan komunikasi. Jika jalan komunikasi tidak dipilih karena itu dapat menimbulkan pertikaian dan sebagainya, itu karena kedua belah pihak tidak menggunakan cara komunikasi yang benar dan adil, di mana salah satunya adalah mendengarkan dan berbicara bergantian, bukan saling potong dan menyalahkan.

Solusi untuk hal ini sebenarnya bisa dilakukan secara empat mata dan bersama-sama. Pertemuan bersama-sama dilakukan untuk membuka kesempatan sharing/ diskusi untuk menciptakan keterbukaan, saling pengertian, saling memahami, membangun kepercayaan, dan menciptakan kedekatan. Hal ini tidak perlu dilakukan dengan formal seperti diskusi dan harus ada seseorang yang mencatat; cukup acara bersama atau ngopi bersama.

Yang kedua, kita bisa melakukan komunikasi empat mata. Hal ini bisa dilakukan setelah kepercayaan terbangun lewat komunikasi bersama. Ini dilakukan untuk mengurangi keengganan untuk bicara, menemukan pandangan dari setiap orang sehingga solusi dapat dirumuskan secara global. Dalam tahap ini, kita diharapkan bisa menjadi pendengar yang tidak terlalu banyak menanyakan kenapa dan bagaimana dan tidak perlu memberikan pandangan jika tidak diminta; biarkan orang itu sendiri yang menceritakannya atas kemauan dan kesadarannya sendiri; dan walaupun diminta sekali pun, kita tidak perlu memberikan pandangan yang memihak antara orang itu atau yang dibicarakan, berikan saja pandangan umum akan masalah yang diutarakan itu.


Akhirnya di sini kita tahu bahwa komunikasi bisa dijadikan alat untuk menyatukan dan memecah belah. Kita pun mengetahui bagaimana cara memanfaatkannya untuk kebaikan dan bagaimana keburukan akibatnya berawal. Semoga dengan mempelajarinya, kita bisa lebih mengerti cara menyelesaikannya dan menghindari perpecahan yang ditimbulkan olehnya.

Posting Komentar

0 Komentar