Ada
sebuah paradoks tentang harga diri.
Harga
diri seolah sesuatu yang harus dilindungi dan diperjuangkan—untuk meraih
kebahagiaan. Sedangkan di sisi lain, memperjuangkan dan melindungi harga diri
itu juga bisa menjadi sumber ketidakbahagiaan—karena pada akhirnya kita akan
terjebak pada ego belaka.
Ego
adalah wujud pengakuan. Pengakuan pada eksistensi dan keakuan yang individual
agar kita senantiasa merasa dihargai dan diperhitungkan sebagai individu yang
mumpuni. Sekilas hal seperti itu terdengar wajar sebagai manusia. Namun bila
kemudian tujuan dari pengukuhan ego sendiri adalah untuk kebahagiaan, apakah
tepat?
Pernah
saya mendiskusikan hal ini kepada seorang Guru. Berbenturan dengan paradoks
pastilah bukan sesuatu yang menyenangkan. Kala itu saya bertanya, “Guru,
mengapa engkau membiarkan orang-orang mengambil kata-katamu sedemikian rupa dan
mereka sebarkan tanpa sedikitpun menyebut namamu?”
Seraya
tersenyum, Sang Guru menjawab, “Saya di sini adalah perantara. Kata-kata itu
tak satu pun keluar dari saya. Pun semua tanyamu ini. Engkau, Saya, kita semua
tak memiliki apapun yang kita pegang saat ini. Sama sekali tiada hak.”
Sehingga
Guru tersebut merasa segala karyanya boleh disebarkan kepada siapa saja tanpa
harus mengatasnamakan dirinya. Ada sejumput malau kala itu. Sebagai seseorang
yang berhasrat menjadi seorang pengkarya, sudah wajarnya saya ingin melihat orang-orang
mengenal nama saya dari karya yang saya buahkan. Namun bagaimana jika kemudian
saya bertemu seseorang yang lebih tinggi ilmu dan pengetahuannya—daripada saya—kemudian
merelakan karya itu tumbuh dengan sendirinya tanpa perlu dinaungi oleh nama “Bapak”
mereka. Rasanya seperti ditampar kanan-kiri dan diraupi kotoran kuda oleh ego
saya sendiri. Sedangkan sampai saat ini dalam rangkai satu dua kata, saya sudah
sangat berhasrat untuk membubuhkan nama di balik gubahan saya itu.
Lama
saya merenungi bahwa Ego adalah perkara diakui sedangkan untuk meraih
kebahagiaan utuh maka kita harus melepas segala aku yang ingin diakui itu. Mengalir
dengan lembut selayaknya air yang menjemput muara. Hingga kemudian ketika
sampai, kita bisa berkata, “Di sinilah Kami. Kami telah sampai. Kami telah
menyatu.”
Sedangkan,
apakah kita rela melepaskan ego itu sendiri?
Itu
tergantung pilihan.
Dengan
segala perenungan yang terdalam, pada akhirnya kepedihan, kemuraman, dan
perasaan negatif lainnya bersumber pada Ego. Hasrat-hasrat keduniawian serta
keruhanian yang dilahirkan oleh Ego akan menyendat perjalanan kita dan membuat
katup kebahagiaan kita tersumbat. Segala usaha memperjuangkan dan
mempertahankan harga diri kita justru melahirkan kepedihan mendalam. Semua hanya
demi pengakuan pihak luar. Sedangkan hasrat dan tuntutan Ego tak pernah ada
ujung—baik itu keduaniawian ataupun keruhanian.
Ada
cara menarik dari sesi meditasi yang saya pelajari. Meskipun kami mengenal
dualisme yang sejatinya hanyalah pemisahan dari kebersenyawaan kesejatian,
dualisme ini ibarat pintu kesadaran. Orang mengenal benar dan salah. Baik dan
buruk. Serta beragam pertentangan dualisme lainnya. Namun pada tingkatan
tertentu, kita akan paham bahwa keduanya saling melengkapi dan tak bisa
dipisah. Bahkan dari sudut pandang yang berlainan, kedua pandang itu bisa
berputar—baik bisa jadi buruk, salah bisa jadi benar. begitulah sifat dualisme
yang begitu paradoks beserta dengan anomalinya. Namun tentu saja, ini sangat
rawan menjadi perdebatan karena Ego selalu punya cara penilaian sendiri untuk
membenarkan pihaknya.
Kembali
pada dasar pengendalian Ego, dalam meditasi, selain dengan cara menerima segala
bentuk pikiran yang bergentayangan di dalam benak kita, ada pula cara untuk
sedikit mengesampingkan Ego. Menaruhnya lebih dulu dan memahami bahwa kita
sebenarnya kosong tanpa segala itu. Apakah kita tanpa Ego?
Bisakah
kita membayangkan bahwa senandainya kita tidak menjadi kita dalam kehidupan
kita kali ini?
Atau
sejatinya “kita menjadi kita” karena keinginan “kita”?
Sedangkan
“kita” bisa kembali dipecah menjadi “peran” masing-masing menjadi “aku”, “engkau”,
“dia”, “mereka” dan bentuk pengakuan lainnya. Seperti pula “Au” yang juga
dipisah sebagai pribadi yang berbeda—secara profesional, keluarga, pribadi
mandiri, pasangan, dan lain sebagainya.
Bagaimana
jika tak ada Ego?
0 Komentar