Reuni



Frans meneguk minuman dari gelasnya. Alunan musik yang mengisi ruang pesta itu tak dapat menghiburnya. Wajahnya masam. Orang-orang saling sapa dan bertukar senyum di pesta itu. Sesekali mereka menegur Frans dan melemparkan senyumnya. Frans memasang senyum tawar.

Kebanyakan orang yang hadir di pesta itu adalah teman-teman masa sekolahnya. Sudah lima belas tahun semenjak masa sekolahnya itu berakhir. Banyak wajah-wajah baru yang tak dikenalnya di kelas. Wajah-wajah dari para pasangan hidup teman-temannya. Frans menenggak minumannya lagi.

"Ayolah, di saat seperti ini kau malah menyendiri?" tegur teman masa sekolahnya.

"Aku tak menyendiri. Aku hanya berusaha menikmati pesta ini."

"Jangan alasan. Aku tahu kau masih sedih dengan masalah yang menimpamu. Tapi, hei, ini adalah pesta reuni! Kau bisa bertemu lagi dengan teman-temanmu yang sudah lama tak bertemu!"

"Aku tahu itu," jawab Frans tawar.

Temannya itu duduk di hadapannya. Memandangnya dengan tajam. Musik masih mengalun menemani undangan-undangan yang hanyut dalam ramah tamah pesta itu. Beberapa yang membawa pasangan memutuskan untuk berdansa. Yang lain sibuk dengan acaranya sendiri. Para wanita mengobrol. Para lelaki duduk dan menyantap makanan. Beberapa ada yang saling goda.

"Kau lihat? Banyak teman-temanmu yang datang sendiri saat ini. Aku juga begitu," jelas temannya.

"Tapi kau sudah punya istri. Istri yang ideal. Beruntung kamu!"

"Ayolah! Jangan bawa-bawa masalahmu kemari. Kita datang ke sini untuk saling sapa! Mungkin saja kau bisa bertemu lagi dengan gadis pujaanmu saat sekolah dulu?!"

"Dia sudah menikah. Desi mendapatkan pria yang mapan. Dia menikah tujuh tahun lalu."

"Lupakan Desi. Mungkin ada yang lain?"

"Yang tak seberengsek istriku. Yang tak mudah bermain mata dengan pria lain. Yang benar-benar memperhatikan suaminya. Mungkin aku bermimpi."

"Pasti ada yang seperti itu, Frans. Kau pasti menemukannya."

"Pasti. Tapi tidak di sini."

Temannya itu meninggalkannya dengan raut datar. Dia menepuk bahu Frans dua kali. Frans merasa terhibur. Dia menenggak minumannya lagi. Wanita yang ini, wanita yang itu. Semuanya saling tersenyum. Memang benar kata temannya tadi. Masih banyak dari mereka yang single. Ada yang pendiam dan malu-malu. Tapi Frans merasa enggan untuk mendekati mereka.

Waktu berjalan lambat baginya. Tak sopan jika harus meninggalkan pesta itu sementara belum semua tamu datang. Mungkin mereka yang belum datang itu sengaja tak datang. Toh, pesta reuni seperti ini sering kali dilewatkan begitu saja. Kecuali bagi mereka yang ingin memamerkan kejayaannya saat ini. Atau sekadar ingin berjumpa dengan teman lamanya saja.

Frans memutuskan berjalan-jalan. Dia menyapa satu-dua temannya. Banyak diantaranya wanita. Mereka menyambut dengan senyum ramah. Dan tak jarang yang hanya senyum sejenak, lalu kembali datar.

Desi, tambatan masa lalunya, terlihat selalu beriringan dengan suaminya. Frans enggan untuk menyapanya. Dia tak ingin ditanya tentang kabar keluarganya. Tapi dia bisa sedikit berbagi tentang dirinya dengan wanita lain. Wanita yang juga teman semasa sekolahnya dulu, tapi tak begitu akrab. Saat ini, adalah waktu yang tepat untuk memulai perkenalan lagi.

"Dulu kamu bandel sekali!" kata wanita itu.

"Biasa. Masa remaja seperti itu, jika tak bandel, maka masa tuanya akan menyesal. Kita harus lincah saat muda, bukan?"

"Memang kamu sudah tua?" ledek wanita itu.

"Tidak juga. Cukup matang untuk memulai keluarga baru."

Wanita itu menatapnya dengan tajam. Bibirnya tersenyum menggoda. Senyumannya itu seakan mengisyaratkan bahwa wanita itu ingin mengutarakan sesuatu, namun dirahasiakannya. Frans hanya menatapi wajah bening di hadapannya itu.

"Kamu tak pernah tertarik padaku. Sejak dulu," ucap wanita itu.

"Iya. Dulu memang begitu. Tapi banyak yang berubah sejalan dengan bertambahnya usia manusia."

"Kamu belajar berfilsafat?"

"Aku hanya ingin berkata saja."

"Jika kita bertemu lagi setelah pesta ini, mungkin ada yang harus kita bicarakan," ucap wanita itu dengan binar mata yang tak goyah.

"Mengapa tak sekarang?"

Wanita itu terdiam. Bibirnya digigit. "Karena wanita suka teka-teki."

Frans terdiam memandangi wanita itu beralih dari hadapannya. Wanita itu tak menoleh padanya lagi. Frans lupa menanyakan namanya. Dia sedikit ingat nama panggilannya. Tapi apakah masih pantas memanggilnya seperti nama panggilannya semasa sekolah dulu?

Dia beralih dan pandangannya menangkap suasana baru. Orang yang terkenal paling diam dan alim di kelasnya dulu baru datang dengan istri dan anaknya. Beberapa teman terlihat menyambutnya. Wajahnya tak banyak berubah. Dia memiliki istri yang anggun dengan busana serba panjang yang menutup semua auratnya. Putrinya juga begitu. Sepertinya temannya itu mendapatkan istri yang sesuai dengan seleranya. Sama-sama alim. Ya, mungin benar jika orang baik pasti akan mendapatkan yang baik pula.

Frans bangkit dan berjalan mendekati temannya yang dulu terkenal pendiam dan alim itu. Setidaknya dia merasa memiliki beberapa kesalahan karena dulu sering meledek temannya itu. Remaja-remaja bandel sudah sewajarnya mengganggu teman-teman mereka yang pendiam.

"Rama? Sudah lama tak berjumpa!" sapa Frans.

"Frans? Apa kabarmu?" sambut Rama dengan senyum melebar.

"Luar biasa! Kau datang dengan istri dan anakmu?"

"Ya, ini mereka! Mereka adalah cahayaku!" ucap Rama membanggakan istri dan anaknya.

Istrinya tersenyum simpul menyambut Frans. Dan gadis kecil di sebelahnya langsung meraih tangannya dan mencium punggung tangannya. Istri Rama hanya memberi salam dengan menyatukan kedua tangannya di depan dada. Dia tak menerima uluran tangan Frans. Dengan kikuk, Frans turut melakukan salam serupa.

"Ini istriku, Aidah. Dan itu putriku, Ainun."

"Putrimu manis sekali. Kelas berapa dia?"

"Ainun kelas dua, Om," jawab gadis kecil itu.

"Sepertinya kau lebih bahagia dibandingkan masa sekolahmu dulu! Kau tampak lebih ceria!" ujar Frans.

"Ah, kau bisa saja. Dari dulu aku selalu seperti ini," jawab Rama.

Rama pun bepamitan pada Frans untuk menyapa teman-temannya yang lain. Frans mempersilakannya. Pandangan Frans tak bisa lepas dari keluarga kecil itu. Dia tersenyum sendiri. Rama tampak mendapat kebahagiaannya. Dia sempat melihat istri temannya itu menyuapkan makanan pada suami dan anaknya. Lembut sekali.

Frans memutuskan untuk beranjak dari pesta reuni itu tanpa berpamitan pada teman-temannya. Dia ingin menyusun rencana.


Posting Komentar

0 Komentar