Pacar dan Naga


Apa yang akan kamu lakukan jika tiba-tiba kekasihmu meminta dibawakan seekor naga? Ya, kita tidak sedang hidup di negeri dongeng. Mencari seekor kadal yang mirip dengan naga pun tentu bukan hal yang mudah. Dan itu yang sedang aku alami sekarang. Ya Tuhan—

Aku menatap hamparan bintang lekat-lekat. Berharap bisa mendapat inspirasi bagaimana caraku untuk bisa mendapatkan naga. Aku tak ingin berpetualang jauh-jauh. Mungkin saja saat aku menatapi bintang, tiba-tiba nanti ada satu yang jatuh, lalu berubah menjadi seekor naga. Mungkin saja.

Dari jauh sudut pandangku sana ada bayang-bayang gunung yang gelap. Tidak. Aku tidak akan berpetualang menyusuri gunung itu hanya demi mendapatkan seekor naga—yang aku sendiri tak yakin dengan keberadaannya.

Duh, seandainya naga seperti hewan-hewan lain yang lucu yang bisa kudapatkan hanya dengan mengunjungi pet shop atau pasar swalayan. Tapi naga adalah makhluk yang berbeda. Aku heran, dari mana orang-orang itu bisa mengarang sosok naga? Apa naga itu pernah hidup pada zaman nenek moyang mereka, lalu melahap hidup-hidup kerabat mereka? Ah, entahlah.

Kekasihku merengek. Dia ingin segera kubawakan seekor naga. MANA MUNGKIN, SAYAAAAANG?!

Malam sudah sangat larut. Dipaksa bagaimanapun, aku pasti tak akan bisa menemukan sesosok naga untuk kuberikan pada kekasihku.

Sekilas tiba-tiba kudapati sebuah bintang yang berpindah koordinat. Bintang jatuh kah? Entahlah. Yang jelas tiba-tiba aku mendapatkan ide. Kata orang-orang, jika kita berdoa saat bintang jatuh, maka doa kita bisa terkabul dengan mudah. Jadi, Bagaimana jika aku ciptakan saja bintang jatuh? Atau aku tangkap bintang yang jatuh itu? Siapa tahu, dari bongkahan bintang yang jatuh itu, aku bisa mendapatkan seekor naga?

Bisa saja kan, bintang-bintang yang melayang di langit itu ternyata adalah telur-telur naga yang belum menetas? Atau malah telur-telur dari makhluk-makhluk legenda lainnya yang tak bisa kau temukan dengan mudah di bumi ini? Siapa tahu? Yang jelas, sudah kuputuskan: Aku akan menjatuhkan bintang!

Segera saja aku bertolak menuju kamarku. Kupersiapkan peralatanku; busur dan anak panah. 15 biji anak panah sepertinya sudah cukup untuk menjatuhkan sebuah bintang. Malam ini aku akan menjadi seorang pemanah bintang.

Aku memerhatikan bintang yang bersinar paling terang. Setelah kupastikan satu, maka segera saja aku bidik bintang itu. Kulesatkan sebuah anak panah tajam menuju bintang yang paling cerah itu. Anak panah itu melesat cepat, lantas menghantam tepat di tengah bintang itu. Sebuah ledakan kecil di bintang itu terlihat dari tempatku. Aku yakin bidikanku tepat mengenai sasaran. Aku bersorak senang. Lalu segera saja kudapati bintang itu tumbang ke tempat antah berantah.

Kukernyitkan keningku. Bintang itu hilang entah ke mana. Kuputuskan untuk mencoba memanah sekali lagi. Kubidik bintang yang tak kalah cerahnya dari bintang yang sudah tumbang itu. Kutembakkan lagi anak panahku.

Sekali lagi bintang itu jatuh di tempat antah berantah.

Aku lesu. Jika seperti ini terus, bagaimana aku bisa menangkap bintang itu? Dua bintang paling cerah telah jatuh entah di mana.

Aku duduk merenung. Sepertinya aku harus menemukan cara lain. Jika tidak, maka bintang-bintang di langit bisa habis aku panah. Jika bintang-bintang itu sampai habis, maka aku akan mendapat kesulitan baru jika nanti pacarku tiba-tiba meminta bintang sebagai pelengkap suasana romantis kala kami kencan nanti.

Kepalaku penat. Pacarku merengek lagi. Kali ini kotak pesan di ponselku mendadak penuh. Kubiarkan saja biar rengekannya selanjutnya tak terkirim padaku. Dengan begitu aku bisa beralasan.

Aku kembali masuk ke dalam kamar. Kali ini aku hendak mencari ketenangan. Pikiranku yang kalut membuatku tak mampu berkonsentrasi menemukan cara untuk mendapatkan seekor naga untuk pacarku. Aku memutuskan bersemadi. Ya, dengan itu aku bisa mengendalikan pikiranku yang kalut.

Aku mencari kemungkinan-kemungkinan keberadaan naga di planet ini. Jika pun harus masuk ke negeri dongeng, maka biarlah aku masuk demi memenuhi keinginan pacarku itu. Sesekali aku ingin memanjakannya.

Aku hanyut di tengah keheningan batin. Berputar-putar, dari gelap, lalu merah, hijau, kemudian sampai pada pancaran cahaya keemasan yang memecah lalu mengantarkanku pada alam bawah sadarku.

Aku membuka mata. Di hadapanku sudah ada seseorang bertubuh jangkung dengan wajah panjang dan telinga yang meruncing sedang berjongkok menghadap padaku. Gaya pakaiannya terlihat kuno—kalau saja aku boleh menyebutnya seperti penghuni negeri dongeng. Dia seperti tengah menungguku terjaga. Mungkin hanyut semadiku membuatku tak merasakan keberadaan orang—atau makhluk? Sebentar. Dia tak terlihat seperti manusia!

"Lama sekali!" tegurnya.

"Hah?!" balasku heran.

"Kau lama sekali?!" tegasnya. Dia menggunakan bahasa yang tengah kugunakan.

"Kau menungguku?" tanyaku memastikan.

"Tentu saja! Apa ada orang lain yang bisa kuajak bicara di sini selain dirimu?" ucapnya.

"Kau siapa?" tanyaku.

Orang itu mengedikkan bahu. "Aku Pemandumu!" jelasnya. "Sudahlah, jangan berlama-lama di sini! Waktumu tak banyak!"

"Tak banyak? Tak banyak bagaimana?" tanyaku heran.

"Kalau kau terlalu lama di sini, maka kau tak akan bisa kembali ke ragamu!" jelasnya.

"Hah?!" Aku memikirkan perkataannya sejenak. Kulihat sekeliling. Benar kiranya, saat ini aku tidak sedang berada di kamarku lagi.

"Apa yang membawamu ke mari?" tanyanya.

"Aku... semadi?" jawabku ragu. Aku pernah dengar semadi bisa membuat orang lepas raga dan berkeliaran di alam gaib. Tapi aku tak pernah mengalaminya benar. Yang biasa terjadi, aku larut dalam keadaan lucid dreams. Keadaan di mana aku bisa berkehendak mengendalikan mimpiku. Ah, benar, mungkin ini salah satunya.

"Bukan. Semadi tak membuatmu tersesat jika batinmu tak menginginkannya! Kau pasti sedang memikirkan hal lain kala bersemadi!" terkanya.

Mendengar penjelasan pemandu itu, tiba-tiba saja aku teringat akan pacarku dan permintaannya. "Ah, iya, benar! Aku sedang mencari naga! Apa kau tahu di mana aku bisa menemukan naga?!" tanyaku.

Pemandu itu terlihat berpikir.  "Mau apa kau dengan naga?" tanyanya.

"Aku ingin manangkapnya guna kuberikan pada kekasihku," jawabku jujur.

"Konyol! Kau bahkan tak mungkin bisa menyentuhnya!" sindirnya sambil tertawa getir.

"Kenapa? Jangan-jangan di sini tak ada naga?" protesku.

"Ada. Kau cari hewan yang seperti apapun ada! Di sini lengkap. Tapi kau tak bisa sembarangan bertingkah di sini!" jelasnya.

"Memang di mana ini?" tanyaku penasaran. Kuperhatikan sekeliling, situasinya berbeda dari kamarku. Aku dikelilingi oleh kabut tipis yang menghalangi pemandanganku beberapa meter kedepan, sehingga saat ini aku hanya terlihat sedang berdiri di sebuah tanah lapang.

"Kasih tau, enggak ya?" ucapnya mengambang dengan senyum usil. Makhluk berkostum aneh itu kemudian beranjak pergi, memberi isyarat padaku agar mengikuti langkahnya. Dia tak memedulikan rasa kesalku karena tak mendapatkan jawaban atas detil tempat ini. Aku tak punya pilihan lain selain mengekor langkah pria bertelinga runcing itu.

Sepanjang perjalanan, Aku baru tahu bahwa saat ini kami sedang berada di tengah hutan. Jejak-jejak pohon berwarna abu terbentang di samping kanan dan kiri kami. Aku acuh. Pemandu itu mengingatkan bahwa aku jangan sampai kehilangan jejaknya. Aku tahu itu. Bagaimana aku bisa menemukan naga jika aku sampai kehilangan dia. Tapi yang paling penting, bagaimana aku kembali ke ragaku nanti jika aku sampai kehilangan jejaknya. Lagi pula aku belum menanyakan hal itu padanya.

Setelah berjalan cukup jauh—sehingga membuatku tak tahu bagaimana cara kembali ke tempat semula—kami akhirnya keluar dari hutan itu. Aku bisa memutuskan bahwa kami telah 'keluar' juga setelah melihat kabut itu yang mulai menipis dan hilang. Sementara pemandangan di hadapanku bisa kulihat jelas. Gunung api dengan lahar yang menyala-nyala dan mengalir lembut hingga mencipta jejak sungai lahar di sekitarnya. Letak gunung itu tampaknya masih jauh, tapi aku bisa melihat detil itu dengan jelas. Mengerikan jika harus berada di sana.

"Ya, kita akan menuju ke gunung itu!" ucap pemandu itu seperti bisa membaca pikiranku. Dia tiba-tiba saja mengatakan hal itu dengan enteng tanpa memedulikan betapa khawatirnya aku.

"Ngapain?" tanyaku.

"Kau mau bertemu naga, bukan?" tanyanya.

"Benar, tapi tak adakah tempat lain?"

"Banyak. Kau mencari naga apa? Di dalam hutan tadi, sebenarnya juga ada naga, tapi naga berkabut bukanlah naga yang bisa kau temui dengan mudah meskipun dia sedang berada di sebelahmu," jelasnya sambil menatap kosong ke sebelahku seakan ada sesosok makhluk di sana. Aku pun turut memastikan bahwa tak ada naga yang berkeliaran di sebelahku.

"Tak ada kah naga yang lainnya?" tanyaku meringis.

"Yang paling dekat, naga api. Kita tinggal menuju ke gunung itu! Ada lagi naga udara, letaknya berada di tebing. Dia hidup di lembah kehidupan. Ada juga naga air, mereka suka bermain-main di air terjun ke abadian. Sedangkan naga gurun, kau harus berjuang menyeberangi tanah tandus yang sengat mataharinya bisa memanggang tubuhmu! Tapi jika kau ingin ke sana, waktunya bisa lebih lama lagi, dan kau tak mungkin bisa kembali ke ragamu! Aku sih, tak masalah," jelasnya.

Sungguh, lahar panas di gunung itu benar-benar membuat bulu kudu merinding. Memang di tempatku ini aku masih belum bisa merasakan seberapa panasnya, tapi jika benar-benar menuju ke sana, aku tak tahu apa aku mampu! Hei, ini bukan gunung yang ada di dalam film kolosal. Ini gunung api sungguhan! Dan kau tak akan pernah melihat kawah yang meluap-luap dengan api yang menyala-nyala seperti yang dimiliki oleh gunung ini di dunia nyata.

"Bagaimana?" tawarnya lagi.

Aku mencari ponselku. Kuharap aku bisa memutuskan seberapa berharga nyawaku dibandingkan harus mengikuti permintaan kekasihku itu. Jika ternyata rengekannya tak lebih berbahaya dari gunung itu, mungkin aku bisa membatalkannya. Pacarku pasti bisa kubujuk dengan rayuan. Tinggal meminta maaf karena tak bisa memenuhi permintaannya yang absurd, beres.

Kucari ponselku di sela-sela sakuku. Tak ketemu. Sepertinya barang bawaan yang terselip di bajuku—di alam nyata sana—tak terbawa sampai ke alam ini. Aku pasrah. Kupejamkan mataku. Kubayangkan paras manis kekasihku. Dia tersenyum. Di cemberut. Dia...

Akan kubawakan naga untuknya!

"Kau mencari apa? Panahmu?" tanya si pemandu.

"Ah, tidak," jawabku spontan.

Pemandu itu mengacuhkan jawabanku. Dia melayangkan tangannya ke udara. Di telapak tangannya tiba-tiba muncul kabut abu-abu yang kemudian bercahaya merah. Dari kabut itu muncul busur panah milikku. Dia lantas melakukannya lagi. Kali ini dia mengeluarkan anak panah milikku.

"Ini, aku hanya bisa mengganti sesuatu yang kau sisakan," jelasnya.

Anak panah yang diberikannya padaku hanya 13 biji. Ya, sesuai yang aku ambil ketika hendak menjatuhkan bintang itu. Adil sekali. Meskipun sesungguhnya aku masih memiliki ratusan di lemariku.

"Kau bisa mengambilkan ponselku?" pintaku berharap.

Pemandu itu melihatku ketus. "Buat apa? Tak ada sinyal di sini!" jelasnya.

Dia benar. Sial. Setidaknya aku hanya ingin membaca pesan-pesan dari kekasihku saja. Mungkin dengan membaca pesan-pesan itu, keberanian serta tekadku bisa bertambah. Tapi tak ada sinyal di sini. Siapa yang tanya?!

Pemandu itu meninggalkanku dengan langkah-langkah kecilnya. Gerak kakinya membuat jubah kunonya berayun-ayun. Aku kembali membuntutinya. Kali ini langkahnya benar-benar menuju ke arah gunung itu.

"Jika berjalan saja, kita bisa sampai besok di lereng gunung itu! Dan itu berarti kau tak akan bisa kembali," jelasnya. Aku terhenyak. Dia tidak memberitahuku sebelumnya bahwa jarak menuju gunung berapi sejauh itu. Apa bedanya dengan menuju ke naga-naga lain?

"Jika kita menuju ke naga lain, maka akan lebih jauh lagi. Seharusnya kita mencari naga berkabut saja," ucapnya santai dengan wajah seolah berpikir.

"Mengapa kau tak mengatakannya saja?! Kita kembali saja menuju naga berkabut!" pintaku. Aku tak ingin terjebak di sini.

"Naga berkabut tak mungkin bisa kau tangkap. Jangan kan menangkap, aku yakin kau tak akan bisa melihat sosoknya. Dia begitu gesit, dan kabut yang menyelimutinya membuat keberadaannya mustahil untuk diketahui," jelasnya.

"Lalu bagaimana?" tanyaku hampir putus asa.

"Kita berlari saja! Kau bisa membawa lari rohmu?" tanyanya.

Aku tak mengerti.

"Coba bebaskan kehendakmu. Biarkan rohmu ringan. Dia tak memiliki berat. Harusnya kau bisa mengendalikannya dan berlari dengan kecepatan tiada tara dengannya! Banyak orang-orang berkemampuan yang sudah mencobanya!" jelasnya.

Dia mempraktikkan. Di sudut-sudut tumit pemandu itu muncul asap yang menyerupai sayap mungil. Langkah ringannya tiba-tiba menjadi gesit. "Lihat!" serunya. "Coba!"

Lantas aku mencobanya. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja aku merasa sudah menguasai teknik itu. Di sudut-sudut kakiku muncul sayap mungil dari kabut. Kakiku seakan diangkat oleh sayap-sayap itu.

Pemandu itu lantas memberiku kode untuk mengikuti langkahnya. Dia berlari dengan begitu cepat. Kuikuti dia. Aku sudah tak bisa memerhatikan lagi sekelilingku. Saat ini yang bisa kulihat hanya sosok pemandu itu yang berada di hadapanku dan di kepalaku hanya ada puncak gunung berapi itu. Kami akan menuju ke sana secepatnya.

Lajuku terhenti saat tiba-tiba sebuah batu melesat hampir mengenaiku. Ada yang berusaha menyerang kami. Pemanduku itu pun turut menghentikan langkahnya. Tatapannya serius. Dia melihat bayang makhluk berkelebat di sisi kanan kami.

"Bunuh saja jika mengganggu. Dia bukan manusia," ucapnya tenang.

Aku ragu melakukan perintahnya. Anak panahku kusiapkan pada busur yang kugenggam. Aku tak kunjung membidik. Aku tak tahu makhluk apa yang hendak kubidik ini.

"Jangan ragu! Kau tak pernah membunuh manusia, bukan? Sekarang kau bisa merasakan rasanya membunuh makhluk yang menyerupai manusia!" ucapnya.

Tetap saja aku ragu. Tapi tatapan pemandu itu yang seakan tak ada ragu membuat keyakinanku menguat. Mungkin ada baiknya kubidik makhluk itu. Dengan begitu aku tahu apa yang sedang kuhadapi. Kurentangkan busurku, lalu kutangkapkan pandanganku pada kelebatan makhluk itu. Ternyata membidiknya tak semudah perkiraanku. Geraknya begitu cepat. Dia hanya bergerak ke sana ke mari, namun tak kunjung meninggakan tempat itu. Dengan nekad kulepaskan anah panahku.

Slap!

Anak panahku meleset. Pemandu itu menertawakan bidikanku. Aku mencoba lagi. Kali ini kubidik dengan benar dan kupastikan antara waktu gerak makhluk itu dengan waktu lesat anak panahku. Setelah yakin, kulepas tembakanku.

Meleset lagi.

Makhluk itu membalas dengan lemparan batu yang serupa dengan lemparan sebelumnya. Batu itu mengarah padaku. Aku kelabakan menghindarinya. Jika direka-reka, mungkin lesatan batu itu bisa menyobek kulitku dan menembus tubuhku. Hei, bukankah sekarang aku tak sedang memakai raga? Entahlah, mungkin rohku juga bisa disobek oleh batu itu.

Batinku panas karena ulah makhluk itu yang melempariku seenaknya. Maka kubalas lagi dengan dua bidikan! Dan semuanya gagal.

"Bisa kupinjam sebentar panahmu?" pinta pemandu itu.

Kuberikan busur dan anak panahku. Aku sudah mengaku kalah. Pemandu itu merentangkan busurku sedemikian rupa. Dia terlihat santai saat membidik—namun tak bisa kukatakan bahwa dia tidak serius dengan bidikannya. Gerakannya begiu lembut saat dia melepaskan anak panah itu. Bidikannya jatuh menghujam ke tanah. Tak mengenai makhluk itu, tapi mampu menghentikan laju makhluk itu karena bidikan si pemandu itu tepat di hadapan makhluk gesit itu.

Kini aku bisa melihat sosok makhluk itu dengan jelas. Wujudnya hitam kelam seperti daging yang terbakar. Giginya runcing penuh taring dengan liur yang berceceran di mulutnya. Sorot matanya tajam namun kosong—aku tak menemukan adanya pupil mata di sana. Di puncak kepalanya yang bertekstur kasar seperti tubuhnya, tak ada rambut yang tumbuh, sebagai gantinya, di sana ada dua tanduk yang menyerupai tanduk kerbau. Makhluk itu kurus kering. Suaranya meraung-raung seperti hewan buas. Ujung jemarinya yang panjang terdapat kuku-kuku runcing yang kuat.

"Kau mau membunuhnya?" tanya si pemandu.

Aku mengiyakan. Kuambil lagi panahku dari si pemandu. Kubidik makhluk itu tepat di jantungnya—atau sebut saja bagian dadanya—karena aku tak yakin dia punya jantung. Lalu kelesatkan anak panahku.

Slap! Grap!

Aku terkesiap. Anak panahku ditangkapnya dengan mudah. Aku tak menyangka bidikanku yang begitu berbahayanya bisa ditangkapnya dengan begitu mudah. Si pemandu tertawa terpingkal-pingkal. Dia mengatakan bahwa tembakanku kurang bertenaga. Rupanya dia belum tahu bagaimana aku menjatuhkan dua bintang yang paling terang dengan tembakan yang sama!

Si pemandu lantas meminjam panahku kembali. Dia tak ingin membuang waktu di tempat ini.

"Aku tak mengganggumu, tapi kau menggangguku. Tembakanku ini tak bersalah!" ucapnya seperti mantra. Dia lantas melesatkan tembakannya.

Anak panah itu melayang. Melesat tepat menembus jantung makhluk itu. Sekejap saja tubuh makhluk itu hancur berkeping. Tembakan si pemandu telah menghancurkannya hingga menjadi kepingan batu yang menyerupai abu.

Pemandu itu lantas memberi aba-aba padaku untuk melanjutkan perjalanan. Kami pun kembali berlari menuju gunung itu. Aku bisa merasakan hawa yang mulai memanas saat mendekati kawasan gunung berapi itu. Sekelilingku yang sebelumnya berwarna abu, kini mulai berubah semerah tanah. Kurasa kami sudah menginjak tanah gunung berapi itu.

Pemandu itu menghentikan lajunya. Di hadapan kami kini berdiri sebongkah batu raksasa yang menghalangi jalan setapak kami menuju gunung itu. Tak mungkin kami memindahkannya—itu menurutku.

"Coba hancurkan dengan panahmu! Aku tak akan meledek tembakanmu jika kau bisa menghancurkannya," ucapnya.

Karena tak ingin diremehkan olehnya, aku pun segera membidik batu itu. Aku tak mungkin meleset karena targetku kali ini begitu besar. Kubidikkan panahku dan kutembakkan anak panahku.

Jleb!

Benar saja, bidikanku tak meleset! Tapi batu raksasa itu tidak hancur. Sekali lagi pemandu itu menertawaiku. Aku panah lagi batu itu. Gagal. Kupanah sekali lagi. Dan semua anak panahku berakhir dengan menancap kuat-kuat di batu itu.

"Sampai besok pun, kau tak akan pernah bisa menghancurkan batu itu jika cara memanahmu seperti itu!" ucap pemandu itu dengan sisa-sisa tawanya.

Aku acuh. Kali ini tetap saja kubidikkan anak panahku. Sebelum kulepaskan, kudengar si pemandu menasihatiku agar membulatkan tekad untuk menghancurkan batu itu dengan anak panahku. Bukan sekadar membidiknya. Kukira dia akan mengajariku mantra serupa yang dia gunakan saat menghancurkan makhluk gesit sebelumnya.

Aku menurutinya. Kubulatkan tekadku untuk menghancurkan batu itu. Lantas, setelah yakin bidikanku tak mungkin meleset, kulepaskan anak panahku dengan lembut. Bidikanku menghujam cepat menuju batu itu. Sekilas kulihat jejak-jejak angin yang membuat anak panahku terlihat seperti luncuran roket.

Anak panah itu menancap kuat di batu rakssa itu, dan kemudian menghancurkannya. Aku ternganga. Menurutku tak ada beda antara tembakanku yang ini dan yang sebelumnya, tapi kali ini aku bisa menghancurkan batu raksasa itu.

Pemandu itu menepuk pundakku. Dia mengingatkanku untuk melanjutkan perjalanan. "Sedikit lagi," katanya. Kami terus melesat. Aku mengikuti langkahnya tanpa bisa memerhatikan kemana kaki kami menjejak.

Pemandu itu menghentikan langkahnya di sebuah lereng gunung yang masih jauh dari puncak. Dia menjejakkan kaki menuju sudut-sudut lereng yang penuh dengan batu.

"Di sini saja. Anak panahmu habis. Kau tak akan bisa menghadapi rintangan di depan dengan sisa anak panahmu! Dan jika kau ingin menangkap naga di puncak gunung dengan sisa anak panah itu, maka urungkan saja!" jelasnya.

"Lalu untuk apa kita ke mari?" protesku. "Seharusnya kau katakan itu dari awal. Lagi pula, bukannya kau bisa mengambilkanku anak panah yang ada di lemariku? Di sana masih ada ratusan lagi!"

"Sembilan puluh tujuh. Tak sampai seratus. Kau harus membelinya lagi!" jelasnya.

"Ah, entahlah. Yang jelas itu bisa lebih membantuku!"

"Aku sudah membantumu. Tanpa aku, kau tak akan bisa membunuh makhluk itu dan menghancurkan batu itu. Di alam ini ada aturan yang belum kau ketahui, nak!" ucap pria itu.

"Nak? Hei, kau mulai sok tua sekarang!" ucapku kesal.

"Usiaku sudah 207 tahun, nak? Apa perlu kau kupanggil cucu?"

Aku terkesiap. Tampangnya masih terkesan beberapa tahun lebih tua dariku. Tak setua itu. Aku mengingatkan diri lagi bahwa aku tidak sedang berada di alamku. Ya, ini alam makhluk lain.

Tiba-tiba aku menaruh hormat pada si pemandu itu.

"Lalu bagaimana dengan naga itu?" tanyaku.

"Di sini ada seekor naga betina yang sedang bertelur. Tapi jangan berpikir bahwa dia naga betina maka dia jinak. Naga betina lebih ganas jika dia sedang bertelur," jelasnya.

"Jadi naga benar-benar bertelur?" tanyaku bergurau.

"Tergantung. jika kau menemukan naga yang bertelinga, maka dia melahirkan," jawabnya. Entah bergurau atau serius—aku tak bisa memastikan karena aku belum pernah melihat naga dengan kedua mataku ini.

Pemandu itu mengajakku untuk berjalan mendekati goa yang dijadikan sebagai sarang oleh salah satu naga di situ. Kami menjagai jarak sekitar 15 meter dari liang naga itu. Aku bisa melihat telur-telur naga yang tergeletak di sana. Ada beberapa buah. Setelah kuhitung, sepertinya ada tiga.

Telur naga itu berbentuk lonjong seperti biasa, namun kulitnya bertekstur keras. Ada guratan berwarna kuning keemasan di kulitnya. Telur itu ditinggalkan tanpa ada yang menjaganya.

"Bagaimana sekarang? Diambil saja?" tanyaku.

"Kau yakin itu telur naga?" tanya si pemandu.

Aku heran. Bukankah dia yang lebih tahu tentang naga dan telurnya. Maka kuucapkan saja protesku itu.

"Ya, itu lah lucunya ras kalian. Selalu merasa lebih tahu tentang hal yang tak benar-benar kalian tahu!" sindirnya. Aku diam. Sedang tak ingin berdebat dengan bangsa asing. apalagi makhluk gaib!

Kupalingkan pandanganku ke telur-telur itu. Sejenak kemudian pemandangan menjadi lebih gelap. Ada bayangan besar yang menaungi kami. Ringkikan keras yang memekakan telinga terdengar dari atas kami. Kulihat seekor makhluk bersayap sedang turun ke arah kami.

Aku terpana melihat makhluk raksasa itu. Tekstur kulitnya begitu kasar dan ditutupi oleh sisik yang keras. Makhluk raksasa berwarna merah itu memiliki cakar yang tajam. Dia menghujamkan cakar itu menembus ke tanah. Makhluk itu mendarat tak jauh di hadapan kami.

Aku menemukan naga! Aku telah menemukannya! Namun sepertinya pacarku tak akan suka. Naga itu terlihat seram, tak seperti yang pacarku inginkan. Dia berharap aku mendapatkan naga yang imut-imut dan lucu serta menggemaskan seperti dalam film kartun yang baru saja ditontonnya. Sedang yang kutemukan ini? Begitu seram! Matanya merah seperti iblis! Moncongnya panjang bergerigi! Tentunya pacarku pasti ngeri.

Dan sekarang aku bingung bagaimana cara menangkap naga itu untuk kuberikan pada pacarku. Seperti yang kau tahu, saat ini aku sedang tidak berada di dunia nyata. Aku sedang berada dalam alam gaib. Seandainya aku berhasil menangkapnya, aku juga tak tahu bagaimana cara menunjukkannya ataupun membawanya pulang ke rumah. Dia naga gaib!

"Bagaimana ini?" tanyaku bingung kepada pemandu itu. Tubuhku bergetar merasakan ngeri yang teramat sangat.

"Jangan bertingkah aneh. Jaga rasa takutmu. Naga memiliki insting seperti reptil yang bisa merasakan rasa takutmu. Begitu dia tahu kehadiranmu, tamatlah riwayatmu!" jelas pemandu itu santai.

"Kita akan menangkapnya?" tanyaku.

"Aku tak punya urusan dengan itu. Itu niatmu demi pacarmu, bukan?" jawabnya acuh.

Sial. Aku tak bisa memaksanya untuk membantuku. Dia benar. Ini memang urusanku sepenuhnya. Lagi pula dia juga sudah mengantarkanku sejauh ini untuk bertemu dengan naga.

Kubidikkan anak panahku pada naga itu, lalu kulepaskan.

Dzang! Anak panahku mengenai kulit naga itu, namun terpental tanpa menggoresnya sedikitpun.

"Apa yang kau lakukan?" tanya si pemandu sambil menggeplak kepalaku.

"Aku akan menangkapnya!" jawabku.

"Lalu apa?" tanyanya.

Aku tak tahu bagaimana menjawabnya. Sejujurnya aku tak tahu langkah selanjutnya untuk mengamankan naga itu. Lagi pula tembakanku barusan sepertinya tak menimbulkan efek apa-apa pada naga itu.

Anak panahku tinggal satu biji. Dan aku tak yakin bisa menundukkannya dengan anak panah sebiji ini. Aku juga tak punya jaring untuk menjerat naga itu. Aku bingung. Makhluk yang bersamaku ini tak mau membantuku menyelesaikan masalahku. Padahal dia yang membawaku sampai ke mari.

"Bagaimana?" tanyanya.

"Entahlah. Sebaiknya aku kembali saja. Aku tak mungkin bisa menangkapnya. Dan mencuri telurnya pun sepertinya mustahil. Lagi pula aku juga tak tahu itu telurnya atau bukan. Kau tak mau menjelaskan juga!" gerutuku menyerah.

Pemandu itu tertawa. Dia tak lantas memberitahuku tentang telur itu, tapi dia menawarkan solusi lain untuk menangkap naga itu.

"Kau bisa menggambar? Bagaimana jika kau menangkapnya saja di atas kertas. Kau bisa mengabadikannya, lalu menunjukkannya pada kekasihmu! Jika dia menganggap gambarmu hanya karangan saja, maka kau bisa menceritakan perjalananmu ini padanya!" usulnya.

Aku tak menemukan penyelesaian yang lebih baik daripada itu. Sepertinya kuterima saja usulnya. Tapi aku tak punya buku gambar dan alat tulis. Aku tak bisa menggambar naga itu. Kuutarakan keberatanku itu pada pemandu itu. Dia tak lantas menyetujui permintaanku untuk dibawakan buku sketsaku dan alat tulisku dari alam wadag. Dia menawarkan hal lain.

"Aku tak bisa memberikanmu buku gambar dan alat gambarmu sesuka hati. Kau pikir itu tak ada harganya?" ucapnya. Aku tak tahu apa yang dimaksud dengan harga. Apa sihirnya untuk mengambil benda-benda duniawiku itu juga dikenakan tarif seperti mengirim barang pada pos? Entahlah. Yang kutahu, dia tak mau membantu.

"Ya sudah lah. Antarkan aku pulang saja," ucapku.

Pemandu itu tampak berpikir. Sepertinya dia tak ingin membuatku kecewa.

"Begini saja, kau bisa menukar busur dan anak panahmu itu dengan buku dan sebuah pensil kayu milikmu. Aku akan mengusahakannya," tawarnya.

Tak buang waktu, aku pun segera mengiyakan tawaran pemandu yang berkostum layaknya pemburu kuno itu. Kuserahkan busur dan anak panahku. Dan dia melakukan sihirnya seperti yang dilakukannya ketika keluar dari hutan.

Dikambangkannya busur dan anak panahku di udara, lalu diubahnya menjadi kabut kemerahan. Lalu sekejap saja kabut merah itu berubah menjadi buku dan pensil kayu milikku.

Aku tersenyum lebar menerima pemberian dari si pemandu. Segera aku mencari sudut pandang yang pas guna menggambar naga itu. Aku terbantu dengan sikap tenang naga api itu. Ya, menurut pemandu itu, naga api adalah salah satu naga yang tenang, selain naga tanah. Dia tak selincah naga udara dan tak semisterius naga berkabut. Dia tak suka berenang selayaknya naga air. Setidaknya aku bisa menggambarnya lebih detil dibandingkan aku harus berjuang bertemu naga yang lain. Dan yang paling penting, aku bisa memberikan sesuatu untuk pacarku. (*)

Posting Komentar

0 Komentar