Sejarah Bangsa Indonesia Dalam 'Anak Semua Bangsa'


Judul buku: Anak Semua Bangsa
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Tahun terbit: Maret 2018 (Cetakan ke-19)
Tebal buku: 547 halaman.

Novel "Anak Semua Bangsa" karya penulis ternama Pramoedya Ananta Toer ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1980 oleh Hasta Mitra. Dengan latar pemerintahan Hindia Belanda, "Anak Semua Bangsa," yang merupakan novel kedua dari novel tetralogi "Bumi Manusia" ini tidak hanya bercerita tentang sejarah, tetapi juga cinta, sosial, dan politik.

Cerita "Anak Semua Bangsa" dimulai dengan perjalanan kematian Annelies, istri Minke yang merupakan tokoh utama dalam novel tetralogi ini, ke Belanda. Berita kematian itu sendiri dikirim oleh Kommer, orang yang dipercaya Nyai Ontosoroh untuk menjaga Annelies selama perjalanan dan sekaligus sahabat Minke dan Nyai, dan bukan Ir. Maurits Mellema yang mengaku sebagai wali sah Annelies.

Setelah berita tersebut diterima, kehidupan Minke dan seluruh keluarga itu menjadi kelabu. Namun, mereka dapat menghadapinya dengan tabah walaupun Nyai Ontosoroh sangat gusar sehingga ia memutuskan untuk berlibur ke rumah kerabatnya bersama Minke. Liburannya ke Sidoarjo membuat mata Minke terbuka terhadap ketidakadilan yang menimpa pribumi. Pemilik lahan yang kini dijadikan ladang tebu pabrik gula Tulangan mengalami pengurangan pembayaran sewa dan masa sewa yang tidak sesuai dengan kesepakatan. Hal ini membuka hatinya untuk membantu orang-orang yang tertindas tersebut melalui tulisan. Namun, bantuannya itu malah menempatkannya dalam bahaya.

Ketika bahaya itu masih membayangi, orang-orang Tulangan sudah membuat ulah. Mereka memulai perjuangan mereka melawan Belanda sebelum waktunya hingga seorang kyai yang menginisiasi perjuangan itu ditanggap dan dihukum mati, sementara semua pendukungnya menjadi buronan.

Masalah dengan pabrik gula masih belum selesai ketika seorang mata-mata yang dijuluki "si gendut" terlihat masuk ke rumah Minem dan lari ke pekarangan belakang rumah Nyai Ontosoroh. Peristiwa itu disusul dengan surat kematian Robert, anak sulungnya, dan pengakuan Minem bahwa bayinya adalah anak dari Robert. Surat tersebut masih belum dingin ketika Nyai Ontosoroh, Minke, Minem dan Darsam serta si gendut yang ternyata bernama Jan Tantang dan pemilik tempat pelacuran Ah Tjong diseret ke pengadilan.

Keputusan pengadilan selanjutnya menempatkan Mama atau Nyai Ontosoroh dalam situasi rumit yang tidak bisa ditampiknya karena posisinya yang hanya pribumi, bukan keturunan Belanda. Di situlah arti persahabatan dan perjuangan melawan kesewenangan Ir. Maurits Mellema melalui pesta "penjagalan" yang telah disiapkan Nyai Ontosoroh terkhusus untuk calon perampas perusahaan besar di Wonokromo.

Begitulah cerita itu berakhir. Setiap buku diakhiri dengan takdir Nyai Ontosoroh dan Minke yang menggantung yang mengharuskan setiap membacanya untuk memburu buku berikutnya dan berikutnya lagi.

Dari kisah di atas, pembaca bisa mengetahui bahwa Nyai Ontosoroh dan Minke dapat menghadapi setiap masalah dengan tegar. Bahwa masalah besar bukanlah alasan bagi siapapun untuk menyerah.

Dari "Anak Semua Bangsa," pembaca bisa belajar untuk memperjuangkan hak walaupun hukum tidak memihak, mengusahakan kebenaran walaupun kebenaran jarang meninggalkan jejak, dan tetap menjaga martabat dan kehormatan diri walaupun sedang berhadapan dengan orang yang tidak mengindahkan harga diri orang lain.

Setiap peristiwa yang dialami Minke membuatnya semakin dewasa. Pertemanannya dengan orang Eropa membuatnya membuka mata bahwa orang Eropa tidak perlu disanjung setinggi itu walaupun bangsa mereka terus maju di berbagai aspek kehidupan. Kenyataan mengajarinya untuk berhenti mengidolakan sosok yang menurutnya sempurna. Ketidakadilan membuatnya berhenti menggunakan bahasa penjajah yang tidak dipahami pribumi. Kemudian, ia pun mulai menulis dengan lebih jujur tentang semua peristiwa dalam bahasa Melayu.

Sudah adil kau bila menulis untuk pembaca berbahasa Belanda, padahal kau sedikit pun tak pernah berhutang budi pada mereka? - Anak Semua Bangsa, 275.

Berbicara soal "Anak Semua Bangsa," semakin dibaca pembaca akan semakin diyakinkan bahwa Minke adalah Pramoedya sendiri. Hal ini diperkuat dengan latar belakang Minke yang kebetulan hampir sama dengan Pramoedya yang seorang penulis.

Pengalamannya yang bergabung dengan "Lekra" membuatnya tahu berhagai hal, termasuk peristiwa keadilan yang mengitari pabik gula Tulangan, Sidoarjo. Berdasarkan isi novel, Pram menemukan kenyataan bahwa biaya sewa yang diberikan pada pemilik tanah dikurangi oleh pihak Belanda dan mereka juga menyalahi kesepakatan dalam surat perjanjian sewa. Pengetahuan ini seperti yang pernah dikatakan Gol A Gong bahwa menulis fiksi adalah cara lain untuk memberitakan fakta.

Pram sangat piawai menceritakan setiap detil sejarah karena mungkin ia sendiri mengalami semua peristiwa itu dan bukan hanya berdasarkan imajinasi atau cerita dari orang lain saja. Jika Ernest Hemingway suka menulis cerita secara jujur, maka mungkin Pram bisa dikatakan sebagai Ernest Hemingway-nya Indonesia.

Beliau suka memasukkan fakta sejarah dalam tulisannya sehingga semua orang bisa tetap mempelajari sejarah Indonesia yang terus tenggelam seiring berlarinya zaman. Di tengah zaman yang sudah penuh dengan hoax, Pram berusaha membuat semua pembacanya mempertanyakan yang berakhir menjadi yakin akan kebenaran kisahnya. Dengan cara itulah Pram telah menceritakan kembali sejarah Indonesia yang terlupakan, terlepas dari latar belakangnya yang seorang Komunis.

Namun, jika Anda adalah tipe orang yang suka bervisualisasi dengan narasi atau deskripsi, mungkin "Anak Semua Bangsa" bukan novel untuk Anda. Seperti novel sebelumnya, "Bumi Manusia," novel ini bisa dikatakan penuh dengan dialog yang bertele-tele. Namun, dialog-dialog itu sendiri terkadang berisi pemikiran, movitasi dan nasihat yang tidak akan mungkin Anda tinggalkan, seperti pada dua kutipan di bawah ini:
Apa yang diharapkan oleh Pribumi daripadaku? Tak ada. Tapi yang diharapkan dari Tuan Minke yang begitu berbakat, banyak, terlalu banyak... Aku telah anjurkan padanya untuk mulai mengenal bangsanya dan kehidupannya, sumber yang tak kering-keringnya. - Anak Semua Bangsa, 267.
Nyai, kalau Tuan Minke tak mampu melihat keceriaan kehidupan, bagaimana ia nanti akan dapat menunjukkan pada bangsanya: di sanalah kebahagiaan? - Anak Semua Bangsa, 267.

Posting Komentar

0 Komentar